Judul Buku: The Spirit of Forgiveness (Hidup Indah dengan Memaafkan)
Penulis: Muhammad Abu Fitriana
Penerbit: Tinta Medina, Solo
Cetakan: I, 2013
Tebal: x + 182 halaman
Memaafkan dan meminta maaf, merupakan dua hal yang tidak setiap orang bisa melakukannya. Memaafkan, atau meminta maaf saat kita berbuat salah, memang mudah diucapkan tetapi terkadang sulit untuk diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Padahal, setiap orang tentu akan sepakat, jika hidup ini akan terasa lebih indah jika kita bisa saling membuka hati untuk memberi (atau meminta) maaf pada sesama. Karena kita hidup di dunia ini pasti membutuhkan kehadiran serta bantuan orang lain. Oleh karenanya menjadi sebuah keniscayaan bagi kita untuk selalu menjalin hubungan baik antar sesama manusia.
Andrew Matthews, penulis buku ‘Being Happy’ menyatakan bahwa dengan tidak memaafkan orang yang menyakiti kita, maka satu-satunya orang yang akan dirugikan adalah diri kita sendiri. Tidak mau memaafkan berarti akan menghancurkan hidup kita. Namun yang perlu digarisbawahi; dengan memaafkan seseorang, bukan berarti kita menyetujui apa yang telah mereka perbuat. Tetapi kita hanya menginginkan bahwa hidup kita berjalan terus, (hal 96).
Buku ini layak menjadi bacaan keluarga. Selain sarat makna, buku yang disusun oleh Muhammad Abu Fitriana ini juga memotivasi para pembaca untuk menjalani hidup ini dengan lebih baik, damai dan indah. Di antaranya adalah dengan berusaha menjaga hubungan baik dan saling memaafkan jika suatu ketika di antara kita berbuat khilaf atau salah.
Di dalam tubuh manusia terdapat ‘hati’. Hati diibaratkan jantung. Jika kondisi jantung kita baik, maka baik pula kondisi kesehatan kita. Sebaliknya, jika kondisi jantung kita sakit (apalagi jika sampai berhenti berdetak) maka sakit dan matilah jasad kita. Begitu pula bila hati kita sehat, maka akan menjadi sehat keyakinan, pikiran, serta perilaku kita. Sebaliknya, bila hati kita sakit, maka akan menjadi lemah keyakinan kita, pikiran pun menjadi negatif, dan perilaku menjadi tercela, (hal 23).
Dengki, merupakan salah satu penyakit yang kerap menggerogoti hati manusia. Penyebab kedengkian yang paling parah adalah timbulnya rasa permusuhan. Segala sesuatu yang berkaitan dengan orang yang dimusuhi akan dibencinya, bahkan ia berharap kebaikan dan kebahagiaan tidak akan didapatkan oleh musuhnya tersebut. Jika musuhnya mendapat nikmat dari Tuhan, hatinya seketika menjadi sakit. Permusuhan itu tidak hanya terjadi antara orang yang sama kedudukannya, tetapi juga bisa terjadi antara atasan dan bawahannya, (hal 82-83).
Seseorang yang melarutkan diri dalam kebencian dan tenggelam dalam kedendaman akan menyebabkan waktunya habis sia-sia hanya untuk mendramatisasi sebuah masalah yang menimpa. Rasa benci, jika terus dipupuk, akan menghancurkan cara berfikir, melumatkan raut wajah, membuat kotor tutur kata, batin menjadi gelisah dan kehidupan yang kita jalani menjadi tidak sehat, (hal 92-93).
Ketidakmampuan memaafkan terbukti dapat memberikan dampak negatif, baik secara fisik, mental (emosional), spiritual, maupun sosial. Secara fisik, orang yang dikuasai benci dan marah kondisi jantungnya akan berdetak lebih cepat, pikiran akan terkunci mati dan yang mengalir di dalam tubuhnya adalah keinginan-keinginan negatif, seperti ingin segera membalaskan dendam pada musuhnya. Jika kondisi semacam ini terus berlanjut dan tidak berusaha membuka hati untuk memaafkan, akibatnya bisa menjadi sumber pemicu berbagai penyakit, (hal 101-102).
Ibnu Katsir pernah menerangkan, “Jika kamu berbuat baik kepada orang yang berbuat jelek kepadamu, maka kebaikan ini akan menggiring orang yang berlaku jahat tadi merapat denganmu, mencintaimu, dan condong kepadamu sehingga dia (akhirnya) menjadi temanmu yang dekat, (hal 105).
Emosi negatif yang muncul dari ketidakmampuan memaafkan akan memunculkan pribadi yang tidak baik. Hal ini akan memberikan dampak rusaknya persahabatan, terputusnya tali persaudaraan dan hilangnya keharmonisan hidup bermasyarakat, (hal 104). Dalam bukunya, Forgive for Good (Maafkanlah demi Kebaikan), Dr. Frederic Luskin menjelaskan sifat pemaaf sebagai resep yang telah terbukti bagi kesehatan dan kebahagiaan, (hal 109).
Pada bab selanjutnya, akan diulas kiat-kiat menjadi manusia pemaaf, antara lain dengan memperbanyak bersilaturahim, berusaha selalu ingat bahwa tidak ada manusia yang sempurna, dan lain-lain, (hal 115-124). Kisah-kisah teladan dari orang-orang yang memiliki hati seluas samudera juga dipaparkan dalam buku inspiratif ini, (hal 125-128).
Sebagaimana sikap sabar yang dicontohkan oleh Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam ketika pamannya, Hamzah bin Abdul Muthalib, dibunuh dengan kejam. Beliau tidak membalas, bahkan kemudian berbesar hati memaafkan pembunuh pamannya. Buah yang bisa dipetik dari kesabaran beliau; banyak orang yang semula memusuhi kemudian berbalik menjadi pengikutnya yang setia. Meski hati beliau sangat sedih dan merasa kehilangan, tetapi tidak membuat beliau gelap mata dan menurutkan emosinya.
(Liputan-Islam/Shabestan/ABNS)
0 komentar:
Posting Komentar