Pada kesempatan ini, khatib mengajak jamaah untuk sejenak merenung
secara lebih jernih kehidupan berbangsa dan bernegara kita. Beberapa
hari atau pekan lalu, kita disuguhi sejumlah menu informasi, mulai dari
mencontek berjamaah (masal) di dunia pendidikan sampai pemalsuan surat
MK.
Di sini kita tidak akan menyoroti dari sisi hukum, apalagi politik dari
kasus-kasus tersebut. Pada kesempatan ini, kita melihat dari sisi
epistemik dan etis. Fenomenanya: terdapat perdebatan, silang-pendapat,
dan seterusnya. Yang bermuara pada kebingungan publik: sebenarnya,
manakah yang perkataannya benar? Gejala kebingungan publik ini, dari
sisi epistemologi (pengetahuan) adalah sesuatu yang “biasa” sebab
kebenaran memang harus digali melalui metode dan pengukuran kebenaran
tertentu.
Tetapi dari perspektif etis, hal tersebut adalah sesuatu yang “luar
biasa”. Mengapa demikian? Ketika kita menghadapi suatu persoalan,
kemudian kita tidak mampu secara terang dan langsung menunjuk manakah
yang benar (baik) dan salah (buruk), itu artinya radar moral kita lemah.
Mengapa radar moral kita demikian lemah, sehingga kita tidak berdaya
mengendus mana pihak yang jujur, mana pihak yang dusta? Ada beberapa
alternatif jawaban: kita sulit mengidentifikasi manakah si pendusta
karena kita berhadapan dengan aktor-aktor psikopat . Mendeteksi
kebohongan pada seorang psikopat sangat sulit karena mereka memiliki
ketenangan diri yang luar biasa; tidak ada ekpresi kepanikan atau gugup
ketika menyatakan suatu kebohongan; mimik muka datar; karenanya,
sekalipun menggunakan lie detector, kita sulit mengidentifikasinya. Atau
jangan-jangan karena dusta telah menjadi menu harian bahkan santapan
kognitif kita; dusta telah menjadi biasa; kita terbiasa dengan informasi
dan perilaku manipulative; dusta telah menjadi sesuatu yang dimaklumi.
Akibatnya, kadang kita tidak mampu melihat secara terang-benderang batas
antara jujur dan dusta atau manakah si pendusta. Bagaimana perspektif
Islam tentang dusta? Jelas, dusta adalah sesuatu yang dikecam dalam
Islam!
Iman dan Dusta
Rasulullah ditanya,” apakah seorang Mukmin bisa menjadi pengecut dan
penakut? Beliau menjawab,”ya”. Ditanya lagi,” apakah seorang Mukmin bisa
menjadi kikir?” Beliau menjawab,”ya”. Beliau ditanya lagi” dapatkah dia
menjadi pendusta?”. Beliau menjawab,”tidak”. Imam Muhammad al-Baqir
berkata ,”dusta adalah kehancuran bagi iman”.
Mengapa? Salahsatu butir keimanan yang terpenting selain adalah
keyakinan bahwa Maha Mengetahui (al-‘Alim). Coba kita perhatikan,
perilaku dusta: Pada dasarnya, berdusta adalah tindakan menyengaja untuk
menutupi atau memanipulasi suatu informasi atau fakta tertentu, baik
tentang diri maupun yang lain. Ketika berbohong, seseorang yakin bahwa,
tidak ada satu pun yang tahu tentang kebohongannya selain dirinya.
Padahal, Allah Maha Tahu apa yang dizahirkan oleh lidah kita, maupun
yang tersembunyi dalam pikiran dan relung hati kita. Dengan kata lain,
pendusta tidak yakin, saat ia berdusta, bahwa Allah mengetahui perbuatan
dustanya. Karena itu, tidak salah jika Rasulullah Saw memasukkan
pendusta dalam kategori “orang-orang munafiq”, karena mereka bermasalah
dengan keimanannya.
Dusta lebih buruk dari Minuman Keras
Imam Muhammad al-Baqir berkata, “Sesungguhnya Allah „Azza wa Jalla telah
menjadikan beberapa penutup untuk suatu keburukan dan menjadikan
minuman keras sebagai kunci pembukanya. Akan tetapi, kebohongan lebih
buruk daripada minuman keras.”
Pernyataan tersebut tidak berarti bahwa, minuman keras tidak berbahaya.
Pernyataan di atas mengungkapkan tentang tingkat kerusakan yang
diakibatkan dua hal: minuman keras dan dusta. Kerusakan apakah yang
diakibatkan oleh kedua hal buruk tersebut? Keduanya merusak akal. Namun,
mengapa kebohongan dipandang lebih buruk dibanding minuman keras?
Minuman keras merusak akal secara fisik dan individual si pelaku.
Minuman keras berakibat pada lemahnya saraf-saraf berfikir sehingga
kontrol diri berkurang. Apapun bisa dilakukannya. Namun, kerusakan akal
tersebut hanya bersifat pribadi (pelakunya) saja. Sedangkan kebohongan,
merusak akal bukan secara fisik tetapi secara mental, dari dalam.
Kebohongan mengakibatkan kesesatan dalam berfikir, yang berlanjut pada
kekeliruan dalam menarik kesimpulan, dan berakibat pada kesalahan dalam
mengambil tindakan. Selain itu, kebohongan tidak hanya merusak sistem
berfikir si pelaku, tetapi juga orang lain (bayangkan jika seorang
pejabat melakukan kebohongan publik, berapa banyak orang yang disesatkan
dan kebijakan yang salah diambil sebagai akibat kebohongan).
Apa yang Perlu kita lakukan?
Moral atau akhlak pada dasarnya adalah kebiasaan. Karena itu, perlu kita melakukan, minimal beberapa beberapa hal dibawah ini:
Pertama, Membiasakan berkata jujur. Memang, berkata jujur tidak selalu
mudah dilakukan. Namun, pesan Rasulullah Saw, “katakanlah yang benar
meskipun pahit.”
Kedua, hindari dusta, walaupun kecil atau pada saat bercanda sekalipun.
Imam Ali ibn Abi Thalib berkata,” orang tidak merasakan iman kecuali
setelah dia tidak melakukan dusta, baik dalam pembicaraan serius maupun
senda-gurau.” Rasulullah berpesan pada Abu Dzar al-Ghifari,”Wahai Abu
Dzar, celakalah orang yang berdusta dengan maksud membuat orang lain
tertawa. Celakalah dia! Celakalah dia!” Intinya, Jangan remehkan
dusta-dusta kecil, bahkan dalam bercanda sekalipun. Bisa jadi, pada
sesuatu yang kecil, yang kita anggap remeh itulah, Allah murka. Ini
berarti juga, jangan melihat “besar atau kecilnya” kesalahan dan dosa,
tapi di hadapan siapa kita melakukannnya.
Ketiga, dalam masyarakat yang dusta telah berkecambah, merajalela dalam
setiap sisi kehidupan, kita harus lebih kritis untuk menyaring informasi
yang membanjiri pikiran kita. Dalam filsafat pengetauan (epsitemologi),
kita diajarkan tiga teori kebenaran yang dapat kita gunakan untuk
mengukur suatu pernyataan, apakah benar atau salah. Pertama, teori
korespondensi: suatu pernyataan benar jika pernyataan tersebut sesuai
dengan fakta. Kedua, teori koherensi: suatu pernyataan benar jika
pernyataan tersebut sesuai dengan pernyataan sebelumnya yang telah
dianggap benar. Ketiga, teori pragmatis: suatu pernyataan benar jika
pernyataan tersebut memiliki nilai guna praktis. Tampaknya memang, saat
ini kita tidak boleh mengunyah semua informasi yang tersaji di berbagai
media. Kita perlu diet informasi!
Sebagai akhir dari khutbah ini, saya kutipkan perkataan Rasulullah Saw
sebagai berikut: Rasulullah Saw,” Yang paling dekat denganku pada hari
kiamat dan yang paling patut mendapatkan syafaatku adalah: yang paling
jujur, yang paling dapat dipercaya, yang paling ramah, dan yang paling
akrab di antara kalian dengan kebanyakan orang.”
Wa Allahu a’lam bi al-shawabi.
(Aula Nurcholish Madjid, 8 Juli 2011).
(Ruhullah/ABNS)