Bermula dari tema Muktamar Nahdlatul Ulama ke 33 yang insyaAllah akan diselenggarakan di Jombang Jawa Timur, tempat para pendiri dan sesepuh, istilah Islam Nusantara menjadi sangat populer.
Komentar, pujian, kritik, sampai hujatan berlompatan dari berbagai mulut dan tulisan. Bahkan sementara orang yang tidak terdidik pun ikut nimbrung, tentu saja dengan bahasan dan bahasa yang konyol.
Komentar-komentar; baik yang positif maupun yang negatif, seperti biasa banyak yang bias oleh berbagai kepentingan, kecenderungan dan keberpihakan pikir. Muktamar sendiri, karena adanya kebiasaan fokus kepada bursa pimpinan, bukan kepada program, berpotensi melahirkan keberpihakan. Apalagi dalam–dan sejak—era dan euforia ‘demokrasi’ dan keterbukaan setelah masa tiran dan ketertutupan, kebiasaan memihak dengan membabibuta menjadi semacam kebanggaan. Apalagi media sosial menyediakan panggung terbuka bagi siapa untuk tidak saja berdiskusi, tapi juga bertukar caci maki.
Demokrasi memang membutuhkan persiapan dan kesiapan. Sementara selama berpuluh tahun demokrasi sebagaimana banyak hal-hal mulia—atau yang dianggap mulia lainnya—hanya digembar-gemborkan. Kita, misalnya, tidak pernah diajari berbeda. Justru yang ditekan-tekankan di 32 tahun era orba ialah keseragaman. Maka orang pun terkaget-kaget setiap melihat perbedaan. Lalu mereka yang berbeda pun saling memutlakkan pendapat dan kecenderungannya masing-masing. Kullu hizbin bimaa ladaihim farihun.
Dalam kondisi seperti itu, berpikir jernih pun merupakan hal yang mewah. Dan demokrasi tidak memunculkan dialog yang sehat, tapi stigma-stigma.
Dalam kondisi seperti itu, maka tidak aneh bila ada orang yang selama ini mengamalkan Islam Nusantara, ikut mempertanyakan “Islam Nusantara itu makhluk apa?”
Bila di batok kepala sebelumnya belum ada sesuatu yang bercokol, dalam istilah santrinya khaliyadz-dzihni, istilah Islam Nusantara itu sebenarnya sederhana saja; apalagi bagi mereka yang sudah pernah ngaji Nahwu dan tidak melewatkan bab Idhofah. Islam Nusantara, menurut ilmu itu, adalah bentuk idhofah. Bila belum lupa, Idhofah tidak hanya punya makna lam, tapi bisa juga bermakna fii atau min. Jadi silakan dicari saja makna yang pas yang tidak berarti ‘menyaingi’ ‘Islam Sejati’. Atau yang lebih mudah, menanyakannya saja kepada pihak dari mana istilah itu muncul. Kecuali memang masih ingin menikmati euforia keterbukaan dan memanjakan nafsu mengalahkan pihak lain.
Islam yang selama ini kita–orang Nusantara ini—jalani ternyata menjadi unik dan menarik setelah maraknya fenomena keberagamaan kelompok di luar yang menamakan diri muslim dan membawa bendera Islam, namun meresah-gelisahkan dunia. Dunia yang kemudian bertanya-tanya tentang Islam yang rahmatan lil’aalmiin, Islam yang ramah, damai, dan teduh pun mendapatkan jawaban dari perilaku keislaman kita yang di Nusantara ini. Maka kalau ‘Islam kita’–Islam yang kita jalani di Nusantara ini—ternyata dapat membantu peradaban tidak hanya di Indonesia tapi dunia, syukurlah. Tapi kita harus realistis. Perilaku keislaman kita sendiri saat ini, sudah mulai terganggu oleh berbagai pengaruh dari luar. Sudah perlu memperkokohnya bila diharapkan dapat membantu peradaban di Indonesia dan dunia. Kita mesti bersatu padu mempertahankan cara kita berIslam selama ini, seperti yang diajarkan oleh guru-guru Islam kita yang memperoleh Islam dari guru-guru mereka dari guru-guru sebelumnya dengan sanad yang bersambung hingga Rasulullah Saw. Semoga Allah menolong kita.
Waba’du; bagaimana pun diskusi atau dialog atau bahkan debat kusir tentang Islam Nusantara ternyata telah memperkaya khazanah pengetahuan kita tentang Islam itu sendiri. Alhamdulilah.[]
Tulisan ini adalah sambutan KH. A. Mustofa Bisri untuk buku: “Islam Nusantara: Dari Ushul Fiqh Hingga Paham Kebangsaan” yang insyaAllah akan dilaunching di Muktamar NU, Jombang
(Mahdi-News/ABNS)
0 komentar:
Posting Komentar