Tatanan Wujud
Al-Asfar al-arba’ah merupakan meta-teori Shadra yang memaparkan tentang empat perjalanan manusia menuju kesempurnaan wujud dengan proses pemikiran (aql) juga dengan proses penyatuan (syuhud). Inti empat perjalanan adalah kesempurnaan wujud. Apa itu wujud? Wujud terbagi menjadi: alam materi (mulk), alam non materi (alam mitsal/idea dan alam akal/jabarut/ intelligence), dan Tuhan.
Materi adalah substansi yang memiliki panjang, lebar, tebal, dan gerak. Karenanya, tidak lepas dari ruang dan waktu. Singkatnya, alam materi merupakan alam keterikatan dan ketergantungan. Materi memiliki sifat: potensi (kemungkinan) dan actus (aktualitas). Peralihan dari potensi ke actus disebut sebagai gerak. Alam mitsal adalah alam yang masih memiliki sifat materi (seperti bentuk, warna dll) tapi tidak memiliki beban, tidak terikat ruang dan waktu. Alam ini terbagi dua: “menyatu” dan “terpisah” dari manusia. Fenomena mimpi adalah contoh dari alam ini. Ketika seseorang mimpi sesuatu yang benar, ia terkoneksi dengan alam mitsal “terpisah”. Sedangkan jika mimpi sesuatu yang salah, ia terkoneksi dengan alam mitsal “menyatu”. Alam akal adalah alam yang hanya terdiri dari substansi, tidak ada ciri materi (beban). Tidak ada proses perubahan. Alam ini disebut juga alam ‘amr (kun fa yakun). Selama jiwa dan akal manusia masih terpengaruh dan memiliki bentuk-bentuk material, ia tidak akan mampu memasuki alam ini. Melihat tatanan wujud di atas, maka terlihat hirarki “penciptaan”: makhluk pertama yang diciptakan adalah akal. Dengan akal, Allah menciptakan mitsal, serta dengan akal dan mitsal, Allah menciptakan alam materi. Inilah proses menurun (inna lillahi), dan kembalinya segala sesuatu disebut sebagai “proses menaik” (wa inna ilaihi raji’un).
Empat Perjalanan
Pertama, perjalanan dari makhluk ke al-Haq (al-safar min al-khalq ila al-Haq). Perjalanan untuk meninggalkan alam materi ke alam mitsal, dari alam mitsal ke alam akal, dan dari alam akal menuju al-Haq. Maksud meninggalkan adalah meninggalkan dalam hati, steril dari yang selain-Nya. Pada tahap ini, seseorang tetap makan dan minum, tapi hati tidak boleh tertambat padanya. Materi tidak boleh menyentuh, apalagi bersemayam, dalam kerajaan hatinya. Setelah mampu melakukan hal ini, baru mulai melangkah ke alam mitsal. Dalam alam mitsal, seseorang akan mengetahui rahasia alam materi: yang lalu, sedang, dan akan terjadi. Semua hal “ajaib”, seperti karomah, mukasyafah, syuhud adalah cobaan, hijab cahaya. Untuk melangkah ke tahap selanjutnya, seseorang harus lepas dari ketakjuban dan rasa suka terhadap segala fenomena alam mitsal. Kaki spiritual mulai masuk ke alam akal! Di alam mitsal, manusia memiliki bentuk tetapi tanpa beban. Sedangkan di alam akal, manusia tidak berbeban dan tidak berbentuk. Ia bertangan dan berkaki, tetapi tidak dengan bentuk. Bertangan dan berkaki tidak di tempat yang berbeda. Hakikat tangannya adalah hakikat kaki, kepala, dan semua anggota tubuhnya. dan seterusnya. Alam disebut juga : jannah al-muqarrabin (surga orang-orang yang didekatkan) yang letaknya di atas “surga mukminin”. Meskipun kenikmatannya tak terkira, sang pejalan harus terus melanjutkan perjalanan menuju kelezatan yang hakiki, yakni washlah (sampai, menyatu, kawin) dengan al-Haq (wa ilahi al-Mashir), yakni menjadi mazhar nama-Nya.
Kedua, perjalanan dari al-haq memuju al-Haq bersama al-Haq (al-safar fi al-haq). Inilah perjalanan tanpa batas. Perjalanan ini merupakan penelusuran sifat-sifat Ilahiah, mengetahui seluruh sifat dan asma-Nya, fana dalam zat, sifat, dan perbuatannya. Fana bermakna, tidak melihat diri-Nya. Fana dalam zat disebut maqam rahasia (sirr), fana dalam sifat disebut maqam “tersembunyi” (khafi), sedangkan maqam “tersembunyinya sembunyi” adalah fananya fana, yakni tidak merasakan kefanaan. Jika seseorang merasa fana, masih ada pengakuan akan eksistensinya. Pengakuan akan eksistensi adalah dosa besar! Kesadaran kefanaan perlu diabaikan, dan perhatian tertuju pada al-Haq.
Ketiga, Perjalanan dari al-Haq menuju makhluk bersama al-Haq ( al-safar min al-Haq ila al-khalq bi al-Haq). Perjalanan kedua telah sampai pada fana yang bermula dari pelepasan dari dari jerat kemajemukan, dengan berfokus pada Yang Satu. Nah, tahap selanjutnya adalah kembali melihat kemajemukan dengan tetap menjaga kefanaannya. Ketika seseorang fana, tubuh dan jiwanya bersifat ilahiah. Melihat semua alam dengan “mata” al-haq. Nafasnya adalah nafas ketuhanan.
Keempat, perjalanan dari makhluk ke makhluk bersama al-Haq (al-safar fi al-khalq bi al-Haq). Dengan mata ilahiah, seseorang memperhatikan makhluk dan rahasianya, mengerti seluruh rahasia makhluk, titik mula dan akhirnya, tiotik awal dan tujuannya, apa yang baik dan buruk baginya. Inilah maqam wilayah atau khalifah (khalifatullah) atau insan al-kamil. Dan bagi yang diangkat menjadi rasul, maqam ini disebut sebagai risalah (kerasulan).
Wa Allahu a’lam bi al-shawab
(Disarikan dari: Hasan Abu Amar, “Empat Perjalanan (al-Asfar al-Arba’ah) Mulla Shadra” dalam Buletin al-Murasalat: Musyawarah Religi Antar Sesama Relatif, Edisi II/Rabi alAwal 1420 H/ Juni 1999, h. 11-16 dan Edisi III/Rabi al-Tsani 1420 H/ Agustus 1999, h. 13-14).
(Ruhullah/ABNS)
Al-Asfar al-arba’ah merupakan meta-teori Shadra yang memaparkan tentang empat perjalanan manusia menuju kesempurnaan wujud dengan proses pemikiran (aql) juga dengan proses penyatuan (syuhud). Inti empat perjalanan adalah kesempurnaan wujud. Apa itu wujud? Wujud terbagi menjadi: alam materi (mulk), alam non materi (alam mitsal/idea dan alam akal/jabarut/ intelligence), dan Tuhan.
Materi adalah substansi yang memiliki panjang, lebar, tebal, dan gerak. Karenanya, tidak lepas dari ruang dan waktu. Singkatnya, alam materi merupakan alam keterikatan dan ketergantungan. Materi memiliki sifat: potensi (kemungkinan) dan actus (aktualitas). Peralihan dari potensi ke actus disebut sebagai gerak. Alam mitsal adalah alam yang masih memiliki sifat materi (seperti bentuk, warna dll) tapi tidak memiliki beban, tidak terikat ruang dan waktu. Alam ini terbagi dua: “menyatu” dan “terpisah” dari manusia. Fenomena mimpi adalah contoh dari alam ini. Ketika seseorang mimpi sesuatu yang benar, ia terkoneksi dengan alam mitsal “terpisah”. Sedangkan jika mimpi sesuatu yang salah, ia terkoneksi dengan alam mitsal “menyatu”. Alam akal adalah alam yang hanya terdiri dari substansi, tidak ada ciri materi (beban). Tidak ada proses perubahan. Alam ini disebut juga alam ‘amr (kun fa yakun). Selama jiwa dan akal manusia masih terpengaruh dan memiliki bentuk-bentuk material, ia tidak akan mampu memasuki alam ini. Melihat tatanan wujud di atas, maka terlihat hirarki “penciptaan”: makhluk pertama yang diciptakan adalah akal. Dengan akal, Allah menciptakan mitsal, serta dengan akal dan mitsal, Allah menciptakan alam materi. Inilah proses menurun (inna lillahi), dan kembalinya segala sesuatu disebut sebagai “proses menaik” (wa inna ilaihi raji’un).
Empat Perjalanan
Pertama, perjalanan dari makhluk ke al-Haq (al-safar min al-khalq ila al-Haq). Perjalanan untuk meninggalkan alam materi ke alam mitsal, dari alam mitsal ke alam akal, dan dari alam akal menuju al-Haq. Maksud meninggalkan adalah meninggalkan dalam hati, steril dari yang selain-Nya. Pada tahap ini, seseorang tetap makan dan minum, tapi hati tidak boleh tertambat padanya. Materi tidak boleh menyentuh, apalagi bersemayam, dalam kerajaan hatinya. Setelah mampu melakukan hal ini, baru mulai melangkah ke alam mitsal. Dalam alam mitsal, seseorang akan mengetahui rahasia alam materi: yang lalu, sedang, dan akan terjadi. Semua hal “ajaib”, seperti karomah, mukasyafah, syuhud adalah cobaan, hijab cahaya. Untuk melangkah ke tahap selanjutnya, seseorang harus lepas dari ketakjuban dan rasa suka terhadap segala fenomena alam mitsal. Kaki spiritual mulai masuk ke alam akal! Di alam mitsal, manusia memiliki bentuk tetapi tanpa beban. Sedangkan di alam akal, manusia tidak berbeban dan tidak berbentuk. Ia bertangan dan berkaki, tetapi tidak dengan bentuk. Bertangan dan berkaki tidak di tempat yang berbeda. Hakikat tangannya adalah hakikat kaki, kepala, dan semua anggota tubuhnya. dan seterusnya. Alam disebut juga : jannah al-muqarrabin (surga orang-orang yang didekatkan) yang letaknya di atas “surga mukminin”. Meskipun kenikmatannya tak terkira, sang pejalan harus terus melanjutkan perjalanan menuju kelezatan yang hakiki, yakni washlah (sampai, menyatu, kawin) dengan al-Haq (wa ilahi al-Mashir), yakni menjadi mazhar nama-Nya.
Kedua, perjalanan dari al-haq memuju al-Haq bersama al-Haq (al-safar fi al-haq). Inilah perjalanan tanpa batas. Perjalanan ini merupakan penelusuran sifat-sifat Ilahiah, mengetahui seluruh sifat dan asma-Nya, fana dalam zat, sifat, dan perbuatannya. Fana bermakna, tidak melihat diri-Nya. Fana dalam zat disebut maqam rahasia (sirr), fana dalam sifat disebut maqam “tersembunyi” (khafi), sedangkan maqam “tersembunyinya sembunyi” adalah fananya fana, yakni tidak merasakan kefanaan. Jika seseorang merasa fana, masih ada pengakuan akan eksistensinya. Pengakuan akan eksistensi adalah dosa besar! Kesadaran kefanaan perlu diabaikan, dan perhatian tertuju pada al-Haq.
Ketiga, Perjalanan dari al-Haq menuju makhluk bersama al-Haq ( al-safar min al-Haq ila al-khalq bi al-Haq). Perjalanan kedua telah sampai pada fana yang bermula dari pelepasan dari dari jerat kemajemukan, dengan berfokus pada Yang Satu. Nah, tahap selanjutnya adalah kembali melihat kemajemukan dengan tetap menjaga kefanaannya. Ketika seseorang fana, tubuh dan jiwanya bersifat ilahiah. Melihat semua alam dengan “mata” al-haq. Nafasnya adalah nafas ketuhanan.
Keempat, perjalanan dari makhluk ke makhluk bersama al-Haq (al-safar fi al-khalq bi al-Haq). Dengan mata ilahiah, seseorang memperhatikan makhluk dan rahasianya, mengerti seluruh rahasia makhluk, titik mula dan akhirnya, tiotik awal dan tujuannya, apa yang baik dan buruk baginya. Inilah maqam wilayah atau khalifah (khalifatullah) atau insan al-kamil. Dan bagi yang diangkat menjadi rasul, maqam ini disebut sebagai risalah (kerasulan).
Wa Allahu a’lam bi al-shawab
(Disarikan dari: Hasan Abu Amar, “Empat Perjalanan (al-Asfar al-Arba’ah) Mulla Shadra” dalam Buletin al-Murasalat: Musyawarah Religi Antar Sesama Relatif, Edisi II/Rabi alAwal 1420 H/ Juni 1999, h. 11-16 dan Edisi III/Rabi al-Tsani 1420 H/ Agustus 1999, h. 13-14).
(Ruhullah/ABNS)
0 komentar:
Posting Komentar