SELAMAT DATANG DI AHLUL BAIT NABI SAW

AHLUL BAIT NABI SAW: Media Agama Dan Hati Umat Islam * Media Persatuan dan Kesatuan Sunni Dan Syiah


Pada kesempatan ini, khatib mengajak jamaah untuk sejenak merenung secara lebih jernih kehidupan berbangsa dan bernegara kita. Beberapa hari atau pekan lalu, kita disuguhi sejumlah menu informasi, mulai dari mencontek berjamaah (masal) di dunia pendidikan sampai pemalsuan surat MK.

Di sini kita tidak akan menyoroti dari sisi hukum, apalagi politik dari kasus-kasus tersebut. Pada kesempatan ini, kita melihat dari sisi epistemik dan etis. Fenomenanya: terdapat perdebatan, silang-pendapat, dan seterusnya. Yang bermuara pada kebingungan publik: sebenarnya, manakah yang perkataannya benar? Gejala kebingungan publik ini, dari sisi epistemologi (pengetahuan) adalah sesuatu yang “biasa” sebab kebenaran memang harus digali melalui metode dan pengukuran kebenaran tertentu.

Tetapi dari perspektif etis, hal tersebut adalah sesuatu yang “luar biasa”. Mengapa demikian? Ketika kita menghadapi suatu persoalan, kemudian kita tidak mampu secara terang dan langsung menunjuk manakah yang benar (baik) dan salah (buruk), itu artinya radar moral kita lemah. Mengapa radar moral kita demikian lemah, sehingga kita tidak berdaya mengendus mana pihak yang jujur, mana pihak yang dusta? Ada beberapa alternatif jawaban: kita sulit mengidentifikasi manakah si pendusta karena kita berhadapan dengan aktor-aktor psikopat . Mendeteksi kebohongan pada seorang psikopat sangat sulit karena mereka memiliki ketenangan diri yang luar biasa; tidak ada ekpresi kepanikan atau gugup ketika menyatakan suatu kebohongan; mimik muka datar; karenanya, sekalipun menggunakan lie detector, kita sulit mengidentifikasinya. Atau jangan-jangan karena dusta telah menjadi menu harian bahkan santapan kognitif kita; dusta telah menjadi biasa; kita terbiasa dengan informasi dan perilaku manipulative; dusta telah menjadi sesuatu yang dimaklumi. Akibatnya, kadang kita tidak mampu melihat secara terang-benderang batas antara jujur dan dusta atau manakah si pendusta. Bagaimana perspektif Islam tentang dusta? Jelas, dusta adalah sesuatu yang dikecam dalam Islam!

Iman dan Dusta
Rasulullah ditanya,” apakah seorang Mukmin bisa menjadi pengecut dan penakut? Beliau menjawab,”ya”. Ditanya lagi,” apakah seorang Mukmin bisa menjadi kikir?” Beliau menjawab,”ya”. Beliau ditanya lagi” dapatkah dia menjadi pendusta?”. Beliau menjawab,”tidak”. Imam Muhammad al-Baqir berkata ,”dusta adalah kehancuran bagi iman”.

Mengapa? Salahsatu butir keimanan yang terpenting selain adalah keyakinan bahwa Maha Mengetahui (al-‘Alim). Coba kita perhatikan, perilaku dusta: Pada dasarnya, berdusta adalah tindakan menyengaja untuk menutupi atau memanipulasi suatu informasi atau fakta tertentu, baik tentang diri maupun yang lain. Ketika berbohong, seseorang yakin bahwa, tidak ada satu pun yang tahu tentang kebohongannya selain dirinya. Padahal, Allah Maha Tahu apa yang dizahirkan oleh lidah kita, maupun yang tersembunyi dalam pikiran dan relung hati kita. Dengan kata lain, pendusta tidak yakin, saat ia berdusta, bahwa Allah mengetahui perbuatan dustanya. Karena itu, tidak salah jika Rasulullah Saw memasukkan pendusta dalam kategori “orang-orang munafiq”, karena mereka bermasalah dengan keimanannya.


Dusta lebih buruk dari Minuman Keras
Imam Muhammad al-Baqir berkata, “Sesungguhnya Allah „Azza wa Jalla telah menjadikan beberapa penutup untuk suatu keburukan dan menjadikan minuman keras sebagai kunci pembukanya. Akan tetapi, kebohongan lebih buruk daripada minuman keras.”

Pernyataan tersebut tidak berarti bahwa, minuman keras tidak berbahaya. Pernyataan di atas mengungkapkan tentang tingkat kerusakan yang diakibatkan dua hal: minuman keras dan dusta. Kerusakan apakah yang diakibatkan oleh kedua hal buruk tersebut? Keduanya merusak akal. Namun, mengapa kebohongan dipandang lebih buruk dibanding minuman keras? Minuman keras merusak akal secara fisik dan individual si pelaku. Minuman keras berakibat pada lemahnya saraf-saraf berfikir sehingga kontrol diri berkurang. Apapun bisa dilakukannya. Namun, kerusakan akal tersebut hanya bersifat pribadi (pelakunya) saja. Sedangkan kebohongan, merusak akal bukan secara fisik tetapi secara mental, dari dalam. Kebohongan mengakibatkan kesesatan dalam berfikir, yang berlanjut pada kekeliruan dalam menarik kesimpulan, dan berakibat pada kesalahan dalam mengambil tindakan. Selain itu, kebohongan tidak hanya merusak sistem berfikir si pelaku, tetapi juga orang lain (bayangkan jika seorang pejabat melakukan kebohongan publik, berapa banyak orang yang disesatkan dan kebijakan yang salah diambil sebagai akibat kebohongan).

Apa yang Perlu kita lakukan?

Moral atau akhlak pada dasarnya adalah kebiasaan. Karena itu, perlu kita melakukan, minimal beberapa beberapa hal dibawah ini:
Pertama, Membiasakan berkata jujur. Memang, berkata jujur tidak selalu mudah dilakukan. Namun, pesan Rasulullah Saw, “katakanlah yang benar meskipun pahit.”

Kedua, hindari dusta, walaupun kecil atau pada saat bercanda sekalipun. Imam Ali ibn Abi Thalib berkata,” orang tidak merasakan iman kecuali setelah dia tidak melakukan dusta, baik dalam pembicaraan serius maupun senda-gurau.” Rasulullah berpesan pada Abu Dzar al-Ghifari,”Wahai Abu Dzar, celakalah orang yang berdusta dengan maksud membuat orang lain tertawa. Celakalah dia! Celakalah dia!” Intinya, Jangan remehkan dusta-dusta kecil, bahkan dalam bercanda sekalipun. Bisa jadi, pada sesuatu yang kecil, yang kita anggap remeh itulah, Allah murka. Ini berarti juga, jangan melihat “besar atau kecilnya” kesalahan dan dosa, tapi di hadapan siapa kita melakukannnya.

Ketiga, dalam masyarakat yang dusta telah berkecambah, merajalela dalam setiap sisi kehidupan, kita harus lebih kritis untuk menyaring informasi yang membanjiri pikiran kita. Dalam filsafat pengetauan (epsitemologi), kita diajarkan tiga teori kebenaran yang dapat kita gunakan untuk mengukur suatu pernyataan, apakah benar atau salah. Pertama, teori korespondensi: suatu pernyataan benar jika pernyataan tersebut sesuai dengan fakta. Kedua, teori koherensi: suatu pernyataan benar jika pernyataan tersebut sesuai dengan pernyataan sebelumnya yang telah dianggap benar. Ketiga, teori pragmatis: suatu pernyataan benar jika pernyataan tersebut memiliki nilai guna praktis. Tampaknya memang, saat ini kita tidak boleh mengunyah semua informasi yang tersaji di berbagai media. Kita perlu diet informasi!

Sebagai akhir dari khutbah ini, saya kutipkan perkataan Rasulullah Saw sebagai berikut: Rasulullah Saw,” Yang paling dekat denganku pada hari kiamat dan yang paling patut mendapatkan syafaatku adalah: yang paling jujur, yang paling dapat dipercaya, yang paling ramah, dan yang paling akrab di antara kalian dengan kebanyakan orang.”

Wa Allahu a’lam bi al-shawabi.
 
(Aula Nurcholish Madjid, 8 Juli 2011).

(Ruhullah/ABNS)

0 komentar:

 
AHLUL BAIT NABI SAW - DOA, BUKU, KHASANAH © 2013. All Rights Reserved. Powered by AHLUL BAIT NABI SAW
Top