ilustrasi adzan.
Tidak ada yang meragukan bahwa syahadat ketiga dalam adzan-adzan yang dikumandangkan orang-orang Syiah, yakni “Aku bersaksi bahwa Ali wali Allah” memang di jaman nabi tidak ada, lambat laun syahadat tersebut ditambahkan kedalam adzan.
Detilnya tidak diketahui kapan syahadat ketiga itu ditambahkan dalam adzan orang-orang Syiah. Dalam sumber-sumber riwayat dan hadis Syiah pun tidak ditemukan adanya anjuran dari para Imam-Imam Syiah sendiri akan dikumandangkannya syahadat tersebut dalam adzan. Namun meski demikian perlu diketahui bahwa hal itu tidak termasuk bid’ah. Penjelasannya begini:
Dari jaman dahulu kala hingga saat ini juga, tidak ada satu pun para marja’ (dan juga ulama) yang menganggap syahadat tersebut sebagai bagian dari adzan. Malah menurut mereka mengucapkan syahadat tersebut dengan harapan pahala dan taqarrub tidak masalah.[1] Hal itu sama halnya dengan mengucapkan kata “Jalla Jalaluhu” (Betapa megah keagungan-Nya) setelah mengucap kata Allah, dan juga “Shalallahu alaihi wa alihi wa sallam” (Semoga Allah mencurahkan shalawat-Nya kepadanya dan keluarganya) usai mengucap nama Muhammad, yang terkadang diucapkan saat adzan, yang mana hal itu tidak termasuk bid’ah.
Jelas menambahkan perkara mustahab (tidak wajib) dalam adzan dan iqamah bukanlah bid’ah. Karena sesuatu bisa disebut bid’ah ketika seseorang menambahkan “sesuatu” yang bukan dari agama, juga tidak ada alasan dan dalilnya, ke dalam agama dan menganggapnya bagian dari agama. Menurut para pakar bahasa, bid’ah adalah: “Menambahkan sesuatu yang baru, yang tidak ada akarnya (dasarnya) dalam Al-Qur’an dan Sunnah.”[2] Sebagai contoh, sesuatu yang bukan perkara wajib atau mustahab (sunah) dalam Al-Qur’an dan Sunnah, dilakukan dengan anggapan hal itu wajib atau sunah.
Dengan penjelasan yang lain lagi, bid’ah adalah suatu bentuk ikut campur dalam agama dengan cara menambahkan dan mengurangi syari’at. Perkara kesaksian bahwa Ali as adalah wali Allah, hal itu diucapkan dalam adzan bukan sebagai bagian dari adzan. Inti dari kesaksian terhadap ke-wali-an Ali as pun adalah hal yang jelas-jelas merupakan ajaran Rasulullah saw, beliau dan para Imam menekankannya.
Bahkan Anda pasti heran jika melihat riwayat yang dinukil oleh Ahlu Sunnah sendiri:
Disebutkan oleh Abdullah Muraghi Mishri, salah seorang ulama Ahlu Sunnah, dalam sebuah kitab yang berjudul “Al-Salaf fi Amril Khilaf”, dinukilkan: Seseorang tiba mendatangi Rasulullah saw dan bertanya, “Ya Rasulullah, aku mendengar sesuatu yang sebelumnya belum aku dengar.” Rasulullah saw bertanya, “Apa yang kau dengar?” Ia menjawab, “Salman Al-Farisi dalam adzannya setelah bersaksi akan risalahmu dia bersaksi bahwa Ali as wali Allah swt.” Kemudian nabi mengatakan, “Engkau mendengar hal yang baik.” Di kitab tersebut juga ada riwayat-riwayat lain serupa.[3]
Kesimpulannya, perihal bersaksi bahwa Ali as adalah wali Allah, hal itu secara khusus merupakan hal yang terpuji. Diriwayatkan dari Imam Shadiq as, beliau berkata: “Saat kalian mengucapkan ‘aku bersaksi tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad utusan Allah’, maka hendaknya ia juga mengucap ‘aku juga bersaksi bahwa Ali as Amirul Mu’minin wali Allah’.”
Kesimpulan:
Jadi, pertama, kesaksian bahwa Ali as bukanlah hal yang batil, karena merupakan ajaran Islam secara umum dan akidah Ahlul Bait as secara khusus; kedua, kesasian tersebut diucapkan di sela-sela adzan bukanlah sebagi bagian dari adzan. Dengan demikian hal itu tidak bisa disebut dengan bid’ah. Coba Anda bandingkan dengan kasus khalifah ke-2 memerintahkan umat Islam untuk shalat sunah di malam bulan Ramadhan secara berjama’ah, kemudian hal itu menjadi tradisi Islam. Padahal dalam Islam sama sekali tidak ada syari’at shalat berjama’ah untuk shalat sunah.
Jelas tidak bisa dibandingkan, hal yang kedua ini merupakan ikut campur dalam urusan agama dengan menambahkan “shalat jamaah dalam shalat sunah” yang mana hal itu tidak diajarkan, yang hingga saat ini pun shalat Terawih sudah dijadikan bagian dari agama oleh kebanyakan saudara-saudar Ahlu Sunah. Sedang perkara kesaksian bahwa Ali as wali Allah swt, Syiah secara tegas tidak menganggapnya bagian adzan.
Rujukan:
[1] Bani Hasyemi, Sayid Muhammad Hasan, Tawdhih Masail Maraji’, Daftar e Entesharat e Eslami, Qom, 1386, jil. 1, hal. 519.
[2] Majma’ul Bahrain, Thuraihi Fakhruddin, kata Bid’ah.
[3] Silahkan rujuk: Mar’asyi, Isma’il, Tahqiq Piramun e Ahamiyat e Adzan va Eqame va Sevomin e Shahadat, cet. Masjid Jamkaran, 1386 HS. Rujuk pula: Thabrasi, Ahmad bin Ali, Al-Ihtijaj Ala Ahlil Lijaj, cet. Murtadha, Mashhad, 1403, jil. 1, hal. 158. (hauzahmaya.com/Pasokhgoo.ir/ABNS)
0 komentar:
Posting Komentar