Peristiwa ini terjadi di
daerah Mu`tah dekat Balqa` wilayah Syam (sekarang Yordan). Peristiwa ini
terjadi pada tahun ke delapan hijriyah di bulan Jumadil Ula. Di antara
sebab terjadinya pertempuran, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah
mengutus Al-Harits bin ‘Umair Al-Azdi membawa sepucuk surat kepada
pembesar Romawi atau Bushra. Lalu dia dihadang oleh Syurahbil bin ‘Amr
Al-Ghassani yang lantas membunuhnya. Padahal belum pernah ada seorangpun
utusan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam terbunuh selain dia. Kejadian itu terasa berat atas Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, sehingga beliaupun mengirim sebuah pasukan dan mengangkat Zaid bin Haritsah sebagai panglima. Beliau lalu bersabda:
إِنْ قُتِلَ زَيْدٌ فَجَعْفَرٌ، وَإِنْ قُتِلَ جَعْفَرٌ فَعَبْدُ اللهِ بْنُ رَوَاحَةَ
“Kalau Zaid terbunuh, maka Ja’far (yang menggantikannya). Jika Ja’far terbunuh, maka Abdullah bin Rawahah (yang menggantikan).” (HR. Al-Bukhari dalam Kitab Al-Maghazi).
Beberapa sahabat merasa ada ganjalan ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengangkat Zaid bin Haritsah lebih dahulu sebagai panglima. Tapi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menegaskan sebagaimana diriwayatkan oleh Al-Imam Al-Bukhari dan Muslim dari Ibnu ‘Umar :
بَعَثَ
رَسُولُ اللهِ بَعْثًا وَأَمَّرَ عَلَيْهِمْ أُسَامَةَ بْنَ زَيْدٍ
فَطَعَنَ النَّاسُ فِي إِمْرَتِهِ فَقَامَ رَسُولُ اللهِ n فَقَالَ: إِنْ
تَطْعَنُوا فِي إِمْرَتِهِ فَقَدْ كُنْتُمْ تَطْعَنُونَ فِي إِمْرَةِ
أَبِيهِ مِنْ قَبْلُ، وَايْمُ اللهِ إِنْ كَانَ لَخَلِيقًا لِلْإِمْرَةِ
وَإِنْ كَانَ لَمِنْ أَحَبِّ النَّاسِ إِلَيَّ، وَإِنَّ هَذَا لَمِنْ
أَحَبِّ النَّاسِ إِلَيَّ بَعْدَهُ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
mengirim satu pasukan dan mengangkat Usamah bin Zaid sebagai panglima.
Ternyata orang-orang mengritik kepemimpinannya. Maka berdirilah
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu berkata:
‘Kalau kamu mengecam kepemimpinannya, sesungguhnya kamu sudah pernah
mengecam kepemimpinan ayahnya sebelum ini. Demi Allah. Sungguh dia
(Zaid) betul-betul pantas memimpin, dan dia termasuk orang yang paling
aku cintai. Dan sesungguhnya dia ini (Usamah) juga betul-betul orang
yang paling aku cintai sesudahnya’.”
Kata Al-Mubarakfuri ketika
menjelaskan hadits ini, kepemimpinan yang dimaksud adalah ketika perang
Mu`tah. Beliau juga nukil riwayat An-Nasa`i dari ‘Aisyah radhiyallahu anha, yang menyatakan bahwa tidaklah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
mengirim sebuah pasukan melainkan mengangkat Zaid bin Haritsah sebagai
panglimanya.Ketika kaum muslimin memberi pesan-pesan terakhir kepada
ketiga panglima tersebut dan pasukan mereka, Abdullah bin Rawahah
menangis. Sebagian sahabat bertanya kepadanya, mengapa dia menangis?
Kata beliau: “Tidak ada padaku kecintaan terhadap dunia dan bukan pula shababah(???) terhadap kamu. Tapi aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca satu ayat:
وَإِن مِّنكُمْ إِلَّا وَارِدُهَا ۚ كَانَ عَلَىٰ رَبِّكَ حَتْمًا مَّقْضِيًّا
“Dan tidak ada seorangpun
daripadamu, melainkan mendatangi neraka itu. Hal itu bagi Rabbmu adalah
suatu kemestian yang sudah ditetapkan.” (Maryam: 71).
Aku tidak tahu bagaimana
keluarnya setelah mendatanginya?”Kaum muslimin tetap memanjatkan doa
untuk mereka: “Semoga Allah menyertai kalian, menjauhkan kalian dari
bahaya dan mengembalikan kalian kepada kami dalam keadaan
selamat.”Abdullah mengatakan:
Tapi aku justru minta kepada Ar-Rahman ampunan
Dan satu pukulan keras yang melepaskan zabad(???)
Atau tikaman keras oleh tangan yang menggenggam
Tombak yang menembus jantung dan ahsya`(???)
Al-Imam Ahmad meriwayatkan
dari hadits Khalid bin Sumair dari Abdullah bin Rabah, dia mengatakan:
“Abu Qatadah, prajurit berkuda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyampaikan sebuah hadits kepada kami. Dia berkata:
بَعَثَ
رَسُولُ اللهِ n جَيْشَ الْأُمَرَاءِ فَقَالَ: عَلَيْكُمْ زَيْدُ بْنُ
حَارِثَةَ، فَإِنْ أُصِيبَ زَيْدٌ فَجَعْفَرُ بْنُ أَبِي طَالِبٍ، فَإِنْ
أُصِيبَ جَعْفَرٌ فعَبْدُ اللهِ بْنُ رَوَاحَةَ الْأَنْصَارِيُّ. فَوَثَبَ
جَعْفَرٌ فَقَالَ: بِأَبِي أَنْتَ وَأُمِّي، يَا رَسُولَ اللهِ، مَا كُنْتُ
أَرْهَبُ أَنْ تَسْتَعْمِلَ عَلَيَّ زَيْدًا. قَالَ: امْضِهْ، فَإِنَّكَ
لاَ تَدْرِي أَيُّ ذَلِكَ خَيْرٌ. فَانْطَلَقُوا فَلَبِثُوا مَا شَاءَ
اللهُ ثُمَّ إِنَّ رَسُولَ اللهِ n صَعِدَ الْمِنْبَرَ وَأَمَرَ أَنْ
يُنَادَى: الصَّلاَةُ جَامِعَةٌ؛ فَقَالَ رَسُولُ اللهِ n: نَابَ خَيْرٌ
أَوْ بَاتَ خَيْرٌ أَوْ ثَابَ خَيْرٌ -شَكَّ عَبْدُ الرَّحْمَنِ- أَلاَ
أُخْبِرُكُمْ عَنْ جَيْشِكُمْ هَذَا الْغَازِي، إِنَّهُمُ انْطَلَقُوا
فَلَقَوُا الْعَدُوَّ فَأُصِيبَ زَيْدٌ شَهِيدًا، فَاسْتَغْفِرُوا لَهُ
-فَاسْتَغْفَرَ لَهُ النَّاسُ- ثُمَّ أَخَذَ اللِّوَاءَ جَعْفَرُ بْنُ
أَبِي طَالِبٍ فَشَدَّ عَلَى الْقَوْمِ حَتَّى قُتِلَ شَهِيدًا أَشْهَدُ
لَهُ بِالشَّهَادَةِ فَاسْتَغْفِرُوا لَهُ، ثُمَّ أَخَذَ اللِّوَاءَ عَبْدُ
اللهِ بْنُ رَوَاحَةَ فَأَثْبَتَ قَدَمَيْهِ حَتَّى قُتِلَ شَهِيدًا
فَاسْتَغْفِرُوا لَهُ، ثُمَّ أَخَذَ اللِّوَاءَ خَالِدُ بْنُ الْوَلِيدِ
وَلَمْ يَكُنْ مِنَ الْأُمَرَاءِ، هُوَ أَمَّرَ نَفْسَهُ. ثُمَّ رَفَعَ
رَسُولُ اللهِ إِصْبَعَيْهِ فَقَالَ: اللَّهُمَّ هُوَ سَيْفٌ مِنْ
سُيُوفِكَ، فَانْصُرْهُ. فَمِنْ يَوْمِئِذٍ سُمِّيَ خَالِدٌ سَيْفَ اللهِ.
ثُمَّ قَالَ: انْفِرُوا فَأَمِدُّوا إِخْوَانَكُمْ وَلاَ يَتَخَلَّفَنَّ
أَحَدٌ. قَالَ: فَنَفَرَ النَّاسُ فِي حَرٍّ شَدِيدٍ مُشَاةً وَرُكْبَانًا
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
mengirim satu pasukan besar, dan berkata: “Yang memimpin kamu adalah
Zaid bin Haritsah. Kalau Zaid mendapat musibah (gugur), maka (yang
menggantinya) adalah Ja’far. Kalau Ja’far terkena musibah, maka gantinya
adalah Abdullah bin Rawahah Al-Anshari.” Maka melompatlah Ja’far
dan berkata: “Demi ayah dan ibuku sebagai tebusanmu, wahai Nabi Allah.
Begitu pengecutkah saya sehingga anda angkat Zaid di atas saya?”Beliau
berkata: “Teruskanlah (kepemimpinan Zaid), karena sesungguhnya engkau
tidak tahu mana yang lebih baik.”
Kata Abu Qatadah: “Pasukan
itu berangkat, dan menetap (di sebuah tempat) sampai waktu yang
dikehendaki Allah. Kemudian Rasulullah n naik mimbar lalu memberi perintah menyerukan: Ash-Shalatu Jami’ah. Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
berkata: “Telah terjadi kebaikan, atau datang kebaikan. (‘Abdurrahman
ragu). “Maukah kamu saya beritakan tentang pasukan kamu yang berperang
ini? Mereka berangkat sampai bertemu musuh. Kemudian Zaid gugur sebagai
syahid, maka mintakanlah ampunan untuknya,” lalu kaum musliminpun
memintakan ampunan untuknya.
“Kemudian bendera diambil
oleh Ja’far bin Abi Thalib, diapun menyerang musuh dengan hebat hingga
terbunuh sebagai syahid. Saya persaksikan untuknya syahadah, maka
mintakanlah ampunan untuknya. Kemudian bendera diambil oleh Abdullah bin
Rawahah, dan diapun mengokohkan kedua kakinya sampai terbunuh sebagai
syahid, maka mintakanlah ampunan untuknya. Kemudian bendera diambil oleh
Khalid bin Al-Walid, padahal dia tidak ditunjuk sebagai pemimpin
pasukan. Dia mengangkat dirinya sendiri sebagai panglima. Lalu
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengangkat dua jarinya dan berkata: “Ya Allah, dia adalah pedang dari pedang-pedang-Mu, maka tolonglah dia.”
Maka sejak saat itulah
Khalid digelari Pedang Allah. Kemudian beliau berkata lagi:
“Berangkatlah kamu, bantulah saudara-saudaramu dan jangan ada seorangpun
yang tertinggal.” Akhirnya, kaum musliminpun berangkat di bawah
sengatan panas matahari berjalan kaki dan berkendaraan.
Zaid bin Haritsah Gugur sebagai Syahid
Pasukan muslimin dengan
kekuatan 3.000 orang itu mulai meninggalkan tembok kota Madinah. Rasul
yang mulia mengantar mereka sambil memberi pesan nasihat.Syahdan,
pasukan berangkat dan berhenti di desa Mu`tah. Sementara kekuatan Romawi
200.000 orang bersenjata lengkap. Sebagian ahli ilmu menceritakan bahwa
Abu Hurairah kaget dan merasa kekuatan lawan tidak sebanding dengan
kaum mukminin. Tapi sahabat lainnya mengingatkan bagaimana dahulu mereka
di Badr. Tapi memang, sejak kapan prajurit iman bertarung dengan dasar
jumlah? Bukankah Allah berfirman:
الَّذِينَ يَظُنُّونَ أَنَّهُم مُّلَاقُو اللَّهِ كَم مِّن فِئَةٍ قَلِيلَةٍ غَلَبَتْ فِئَةً كَثِيرَةً بِإِذْنِ اللَّهِ
“Berapa banyak terjadi golongan yang sedikit dapat mengalahkan golongan yang banyak dengan izin Allah.” (Al-Baqarah: 249).
Tentara Allah itu bergerak maju dengan panglima Zaid di depan memegang bendera Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
dengan senjata terhunus. Zaid bertempur hebat, hingga akhirnya terkena
senjata musuh. Beliaupun gugur sebagai syahid. Kekasih Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ini mendahului, menanti sang kekasih untuk berkumpul.
Ja’far Gugur Sebagai Syuhada`
Begitu Zaid gugur, bendera
dipegang oleh Ja’far, pemuda Hasyimi yang menjual kebangsawanannya
meraih derajat di sisi Allah Yang Maha Perkasa. Perang terus berkecamuk.
Tentara salibis tidak puas sebelum menghancurkan tentara Allah
sehancur-hancurnya. Mereka kira, kekuatan super mereka akan menyiutkan
nyali hati-hati yang berisi iman dan tauhid yang murni itu.
Orang-orang ‘badui’ yang
terbelakang, yang dahulunya merunduk sujud bila bertemu mereka. Setelah
Islam menjadikan mereka sebagai manusia secara utuh, tidak ada lagi satu
kekuatanpun yang mereka takuti kecuali Allah. Manusia-manusia yang
mencintai kematian, tetapi masih menginginkan hidup. Perang bagi mereka
bukan cuma membunuh, menebas dan menikam. Tapi membuka jalan menuju
gerbang kehidupan abadi.
Inilah sebabnya, mereka
bukannya berbalik ke belakang melihat kekuatan musuh demikian besar.
Tidak. Mereka berperang bukan karena jumlah dan kekuatan fisik. Mereka
bertempur karena kekuatan hati, kekuatan iman. Tujuan mereka hanya ingin
mengangkat setinggi-tingginya Kalimatullah.
Simaklah apa yang dikatakan oleh Ja’far, ketika dia diletakkan sesudah Zaid oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Ungkapan yang menunjukkan kepahlawanan. Bukan ambisi sebagai pemimpin,
tapi ingin mendahului meraih surga. Terlebih lagi sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
lisan yang tidak berbicara dengan hawa nafsu, kata-katanya adalah wahyu
yang diwahyukan kepadanya. Al-Imam Al-Bukhari meriwayatkan dari Anas
bin Malik, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
mengabarkan tentang gugurnya Zaid, Ja’far, dan Abdullah bin Rawahah
kepada kaum muslimin sebelum berita itu sampai kepada mereka. Kata
beliau:
أَخَذَ
الرَّايَةَ زَيْدٌ فَأُصِيبَ ثُمَّ أَخَذَهَا جَعْفَرٌ فَأُصِيبَ ثُمَّ
أَخَذَهَا عَبْدُ اللهِ بْنُ رَوَاحَةَ فَأُصِيبَ. -وَإِنَّ عَيْنَيْ
رَسُولِ اللهِ لَتَذْرِفَانِ- ثُمَّ أَخَذَهَا خَالِدُ بْنُ الْوَلِيدِ
مِنْ غَيْرِ إِمْرَةٍ فَفُتِحَ لَهُ
“Bendera dipegang oleh Zaid lalu dia gugur, kemudian dipegang oleh Ja’far. Kemudian dipegang oleh Abdullah
bin Rawahah dan diapun gugur,” sementara air mata beliau menitik,
“kemudian bendera dipegang oleh Khalid bin Al-Walid tanpa diangkat, lalu
dibukakan kemenangan baginya.”
Dari jalur lain, Al-Imam Al-Bukhari meriwayatkan dari Anas , dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau mengatakan:
أَخَذَ
الرَّايَةَ زَيْدٌ فَأُصِيبَ ثُمَّ أَخَذَ جَعْفَرٌ فَأُصِيبَ ثُمَّ
أَخَذَ ابْنُ رَوَاحَةَ فَأُصِيبَ -وَعَيْنَاهُ تَذْرِفَانِ- حَتَّى أَخَذَ
سَيْفٌ مِنْ سُيُوفِ اللهِ حَتَّى فَتَحَ اللهُ عَلَيْهِمْ
“Bendera dipegang oleh Zaid
lalu dia gugur, kemudian dipegang oleh Ja’far diapun gugur. Kemudian
bendera dipegang oleh Abdullah bin Rawahah dan diapun gugur,” sementara
air mata beliau menitik, akhirnya bendera dipegang oleh salah satu
pedang dari pedang-pedang Allah hingga Allah bukakan kemenangan bagi
mereka.”
Al-Imam Al-Bukhari meriwayatkan dari jalur lain, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan hal itu di atas mimbar dan kata beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam:
وَمَا يَسُرُّهُمْ أَنَّهُمْ عِنْدَنَا
“Tidaklah menyenangkan mereka, kalaupun mereka bersama kita di sini.”
Karena keutamaan mati syahid yang sudah mereka ketahui.
Ja’far meyakini itu semua.
Berita nubuwwah ini tidak menyurutkannya. Bahkan dia ingin, dialah yang
pertama. Allahu Akbar… Hati seperti apa yang Allah letakkan dalam dada
mereka, sehingga begitu mencintai kematian, padahal masih menginginkan
hidup? Yakin surga menanti mereka di balik kilatan pedang?
Pertempuran semakin seru,
korban di masing-masing pihak mulai berjatuhan. Ja’far menggenggam
bendera dengan tangan kanannya. Khawatir kuda perangnya menjadi santapan
orang-orang kafir, Ja’far turun dan membunuh kudanya. Para prajurit
musuh menyerbunya dan memutus tangan kanannya yang menggenggam bendera.
Tangan perkasa itu jatuh
bersama bendera. Tapi dengan sigap, sebelum menyentuh tanah, tangan kiri
Ja’far menyambar bendera dan menegakkannya. Prajurit kafir lainnya
menebas tangan kirinya, tapi Ja’far tetap tidak rela bendera Rasulullah n
jatuh sementara dia masih hidup. Akhirnya bendera itu didekapnya dengan
lengannya yang buntung, dia dekatkan ke dadanya. Dia tetap tegar.
Tebasan pedang dan tusukan tombak tidak dihiraukannya, akhirnya
beliaupun gugur meraih janji pasti dari Nabi yang suci. Surga
menjemputnya, kedua tangan itupun diganti Allah dengan dua buah sayap
yang digunakannya terbang ke mana saja di dalam surga.[1] Dikenallah dia dengan Dzul Janahain, si empunya dua sayap.
Al-Imam Al-Bukhari
meriwayatkan dari Ibnu ‘Umar , bahwa dia berdiri di dekat jenazah Ja’far
dan menghitung ada sekitar 90 bekas luka sabetan dan tusukan tombak di
sekujur tubuhnya. Setiap kali dia berjumpa dengan putra Ja’far, dia
mengucapkan salam: “Assalamu ‘alaika, yaa ibna dzil janahain (salam sejahtera atasmu, wahai putera pemilik dua sayap).”
Nun, di Madinah, Nabi yang
suci berlinang air mata mengetahui para kekasih telah mendahului. Beliau
mendekap putra-putra Ja’far dan menciumi mereka. Asma` bintu Umais
yang melihat kejadian itu berseru: “Wahai Rasulullah, demi ayah dan
ibuku tebusanmu, apa yang membuatmu menangis? Apakah telah sampai
kepadamu berita tentang Ja’far dan sahabat-sahabatnya?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata: “Ya.”
Asma` menjerit. Para wanitapun berkumpul di rumahnya, sementara Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
pergi meninggalkan mereka. Kemudian beliau memberi waktu tiga hari
kepada keluarga Ja’far untuk berduka cita. Setelah itu beliau menemui
mereka dan berkata: “Janganlah kamu menangisi saudaraku lagi sesudah
hari ini –atau esok–. Panggilkan dua anak saudaraku.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga mengatakan:
اصْنَعُوا لِأَهْلِ جَعْفَرٍ طَعَامًا فَإِنَّهُ قَدْ جَاءَهُمْ مَا يَشْغَلُهُمْ
“Buatkanlah untuk keluarga Ja’far makanan, karena sesungguhnya telah datang kepada mereka sesuatu yang menyibukkan mereka.” (HR. At-Tirmidzi).
Dalam hadits ini, yang
disunnahkan adalah membuatkan makanan yang mengenyangkan keluarga yang
terkena musibah, bukan datang bertamu (ta’ziyah) lalu makan dan minum
dari hidangan yang disediakan oleh tuan rumah sebagaimana banyak terjadi
dewasa ini. Wallahul Musta’an. Al-Mubarakfuri menukilkan
riwayat Ibnu Majah dan Ahmad, dari Jarir, yang menyatakan bahwa
berkumpul di rumah duka, makan dan minum (suguhan tuan rumah) termasuk niyahah (ratapan yang dilarang). Dan kata beliau sanadnya sahih.
Abdullah bin Rawahah gugur sebagai syahid
Melihat Ja’far gugur, dan
bendera Rasul yang mulia segera akan jatuh, dengan cepat Abdullah bin
Rawahah menyibak barisan musuh dan menangkap bendera itu. Bendera
sekarang di tangan panglima ketiga. Diapun mengangkatnya membangkitkan
semangat kaum muslimin.
Di awal pertempuran ketika
mendengar berita kekuatan lawan, sebagian tentara muslimin menyarankan
agar mengirim surat menerangkan kekuatan musuh yang luar biasa, dan
menunggu keputusan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, apakah mereka diberi bala bantuan atau diperintahkan mundur atau yang lainnya.
Abdullah bin Rawahah tampil
mengingatkan pasukan, menumbuhkan keberanian mereka seraya mengatakan:
“Wahai pasukan, sesungguhnya apa yang kamu takutkan adalah betul-betul
yang kamu cari, yaitu mati syahid. Kita tidak memerangi musuh karena
jumlah, kekuatan, dan perlengkapan. Kita tidak memerangi mereka
melainkan karena ajaran ini, yang telah Allah muliakan kita dengannya.
Berangkatlah, sesungguhnya itu adalah salah satu dari dua kebaikan;
menang atau mati syahid.”
Serentak pasukan menyambut
benarnya perkataan Abdullah bin Rawahah. Memang, kekuatan apa lagi yang
dapat menghadang laju hati yang berisi keimanan dan tauhid yang murni.
Sekali maju, pantang surut ke belakang. Sudah menjadi ketetapan Allah
pula bahwa janji kemenangan hanya untuk orang-orang beriman dan beramal
shalih, yang bila dibandingkan dengan kaum yang durhaka sangatlah
sedikit. Perang berkecamuk. Ja’far telah meraih janjinya.
Abdullah bin Rawahah turun
dari kendaraannya. Setelah dia turun, datang putra pamannya menawarkan
sepotong daging kepadanya. Begitu menggigitnya sekali, dia mendengar
suara ramai banyak orang, lalu dia berkata: “Dan engkau masih di alam
dunia?” Diapun mengambil pedangnya lalu maju dan bertempur hingga gugur
sebagai syahid.
Dikisahkan, bahwa yang
mengambil bendera setelah gugurnya Abdullah bin Rawah adalah Tsabit bin
Arqam dari Bani Al-‘Ajlan. Dia berkata: “Hai kaum muslimin sekalian,
pilihlah salah seorang dari kalian.” Pasukan itu mengatakan: “Engkau
saja.” Kata Tsabit: “Aku tidak pantas.”
Akhirnya mereka memilih Khalid
bin Al-Walid. Setelah dia memegang bendera perang, dia berusaha
menyelamatkan pasukan hingga sampai di Madinah. Dalam peperangan ini,
Khalid bin Al-Walid telah menghabiskan sembilan bilah pedang. Demikian
diriwayatkan oleh Al-Imam Al-Bukhari. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, menceritakan berita tentang pasukan muslimin di Mu`tah sebelum datang kabar dari mereka:
أَخَذَ
الرَّايَةَ زَيْدٌ فَأُصِيبَ ثُمَّ أَخَذَ جَعْفَرٌ فَأُصِيبَ ثُمَّ
أَخَذَ ابْنُ رَوَاحَةَ فَأُصِيبَ -وَعَيْنَاهُ تَذْرِفَانِ- حَتَّى أَخَذَ
سَيْفٌ مِنْ سُيُوفِ اللهِ حَتَّى فَتَحَ اللهُ عَلَيْهِمْ
“Bendera dipegang oleh Zaid
lalu dia gugur, kemudian dipegang oleh Ja’far diapun gugur. Kemudian
bendera dipegang oleh Abdullah bin Rawahah dan diapun gugur,” sementara
air mata beliau menitik, “Akhirnya bendera dipegang oleh salah satu
pedang dari pedang-pedang Allah hingga Allah bukakan kemenangan bagi
mereka.”
Sejak saat itulah Khalid digelari Saifullah (Pedang Allah).
Khalid Menjadi Panglima
Sebagian ahli sejarah
menceritakan, bahwa setelah Khalid memegang bendera perang, dia mulai
menjalankan taktiknya. Barisan muslimin diubah. Yang tadinya di sayap
kanan, diletakkan di kiri, dan sebaliknya. Sementara barisan depan,
diletakkan di belakang, dan yang tadinya di belakang diletakkan di
depan.
Diceritakan, ketika perang
mulai berkecamuk kembali, pasukan musuh tersentak luar biasa. Pasukan
musuh menyangka telah datang bala bantuan dari Madinah. Barisan sayap
kiri melihat barisan lawan yang mereka hadapi bukan lagi barisan yang
kemarin, telah berganti wajah baru yang terlihat segar. Demikian pula
saya kanan dan seterusnya. Akhirnya, semangat mereka mulai kendur dan
berangsur-angsur mereka menarik diri dari medan pertempuran. Kenyataan
ini dimanfaatkan kaum muslimin menata barisan, dan akhirnya merekapun
sepakat untuk kembali ke Madinah.
Di awal pertempuran, melihat
kenyataan jumlah musuh begitu besarnya, sempat ada beberapa sahabat
berbalik kembali ke Madinah. Tapi mereka tidak dicela oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
meskipun ada beberapa sahabat merasa malu disindir oleh yang
lainnya.Dari Ummu Salamah, beliau bertanya kepada istri Salamah bin
Hisyam bin Al-Mughirah: “Mengapa saya tidak pernah melihat Salamah ikut
shalat bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kaum muslimin?”
Kata istrinya: “Demi Allah,
dia tidak sanggup keluar. Karena setiap kali dia keluar, orang-orang
meneriakinya: ‘Hai pengecut, apa kamu melarikan diri dari perang di
jalan Allah?’ Akhirnya, dia duduk saja di rumah dan tidak
keluar-keluar.” Itu terjadi ketika mereka pulang dari perang Mu`tah.
Ibnu Katsir mengatakan:
“Adalah wajar, kalaupun itu terjadi. Sebab, kekuatan musuh ketika itu
jauh berkali lipat jumlahnya. Ada yang mengatakan jumlah mereka lebih
kurang seratus sampai duaratus ribu orang.”Dalam riwayat At-Tirmidzi,
Al-Imam Ahmad, dan Abu Dawud, yang dinilai hasan oleh At-Tirmidzi
menyebutkan tentang larinya mereka dari pertempuran ini, adalah di awal
pertempuran. Rasulullah n sebagaimana dalam riwayat itu tidak
menyalahkan mereka. Bahkan mengatakan bahwa mereka adalah:
الْعَكَّارُونَ (orang-orang yang siap kembali setelah mengundurkan diri dari medan perang).
Dari ‘Auf bin Malik, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memasukkan salb[2] ke dalam khumus.[3]
Dan ada prajurit pembantu (dari Yaman) ketika itu menjadi teman
dekatnya dalam perang Mu`tah di pinggiran wilayah Syam. Merekapun
bertemu musuh. Seorang prajurit Romawi dengan kuda dan pelana berhias,
mengenakan ikat pinggang emas dan pedang yang dihiasi dengan emas
menyerang pasukan muslimin dengan ganas. Prajurit pembantu tersebut
mengincarnya hingga ketika dia melewatinya, prajurit bantuan itu menebas
kaki-kaki kudanya hingga prajurit Romawi itu jatuh. Segera prajurit
muslim itu melompati dan membunuhnya dengan pedang.
Setelah Allah mengalahkan
pasukan Romawi, terdapat bukti bahwa prajurit pembantu itulah yang
membunuh tentara Romawi itu. Maka Khalid memberi si prajurit muslim
tersebut pedang (tentara Romawi yang dibunuhnya) dan memasukkan lainnya
ke dalam khumus. Auf berkata: Sayapun menegur Khalid bin Al Walid: “Apakah engkau tidak tahu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menetapkan salb itu untuk orang yang membunuh (lawannya)?”
Khalid menjawab: “Tentu, tapi
saya menganggapnya itu sudah banyak.” Kata ‘Auf: Waktu itu sempat
terjadi perdebatan saya dengan Khalid. Sayapun berkata: “Demi Allah,
akan saya ceritakan hal ini kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.”Lalu setelah kami berkumpul dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Auf menceritakannya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun bersabda: “Apa yang menghalangimu untuk menyerahkan salb itu kepadanya?”
Kata Khalid: “Saya anggap itu sudah banyak.”
Kata beliau: “Serahkanlah kepadanya.”
‘Aufpun berkata: “Bagaimana pendapatmu? Bukankah sudah saya tepati janji saya kepadamu, hai Khalid?”
Mendengar ini Rasulullah n
menjadi marah, lalu beliaupun berkata: “Jangan berikan, hai Khalid!
Mengapa kalian tidak membiarkan urusanku dengan para pemimpin (yang
kutunjuk)?”[4]
Dalam riwayat Muslim,
disebutkan bahwa Rasulullah n memberi perumpamaan: “Perumpamaan mereka
(para pemimpin dengan yang dipimpinnya) seperti seorang yang
menggembalakan unta lalu membawanya ke tempat peminuman. Lalu unta itu
minum dengan puas air jernihnya, dan meninggalkan yang keruhnya. Untuk
kalian yang jernihnya, tapi yang keruhnya untuk mereka.”
Pensyarah Sunan Abu Dawud menukil
dari Al-Imam An-Nawawi penafsiran beliau tentang perumpamaan ini:
“Bahwa rakyat yang dipimpin, mengambil yang jernih dari urusan mereka.
Akhirnya mereka menerima harta tanpa harus bersusah payah, seperti para
pemimpin, mendapatkan musibah dengan sikap kaku dan kasar dari
rakyatnya. Dia mengumpulkan harta sebagaimana seharusnya, lalu
mengaturnya menurut cara yang semestinya, memperhatikan dan menyayangi
rakyat yang dipimpinnya, membela dan meluruskan sebagian terhadap yang
lain. Kemudian jika dia tergelincir, dia dicela dalam sebagian urusan
tersebut. Wallahu A’lam.
(bersambung, Insya Allah)
Referensi:
[1] HR. Ath-Thabarani dari Ibnu ‘Abbas dengan dua sanad yang salah satunya hasan. Lihat tahqiq Zadul Ma’ad (3/384).
[2] Salb adalah apa yang diambil seseorang dalam peperangan, dari lawannya, berupa kendaraan, senjata, atau pakaiannya.
[3] Seperlima dari harta rampasan perang yang menjadi hak Allah dan Rasul-Nya.
[4] HR. Abu Dawud dengan sanad yang sahih.
=============
Ringkasan Pertanyaan
Kaisar
Heraklius adalah panglima pasukan Romawi (pada perang melawan Iran).
Apakah kaisar ini termasuk sebagai hamba kecintaan Tuhan dan beriman
kepada Tuhan? Apakah ia akan masuk ke surga?
Pertanyaan:
Pada surah al-Rum (30)
pertama-tama disebutkan tentang kekalahan Romawi Timur (Byzantium) yang
merupakan Ahlukitab di hadapan pasukan penyembah berhala Persia.
Kemudian disebutkan demikian, “Dalam beberapa tahun (lagi) mereka akan
mencapai kemenangan pada tempat yang paling rendah di tanah Persia. Dan
pada hari itu orang-orang yang beriman bergembira (lantaran suatu
kemenangan yang lain), karena pertolongan Allah. Dan Allah Swt akan
menghukum orang-oran zalim seperti ini dan kepemimpinan berasal dari
Tuhan..” Syaikh Said Nurasi dalam bukunya yang bernama “Risalah Nur”
memuji Kaisar Heraklius dan menulis bahwa ia telah menjadi Muslim dan
meninggal dalam keadaan Muslim. Yang menjadi pertanyaan saya adalah
bahwa Kaisar Heraklius berada pada pucuk komando pasukan Romawi. Apakah
kaisar seperti ini yang memimpin perang dan pasukan-pasukan yang
terbunuh dalam perang ini adalah para hamba kecintaan Tuhan? Apakah ia
adalah orang beriman dan kelak akan memasuki surga?
Jawaban Global:
Kegembiraan
kaum Muslim setelah kemenangan bangsa Roma bukanlah bukti atas
keislaman mereka dan kaisar mereka. Namun setiap orang yang beriman dan
beramal kebaikan maka ia pantas dan layak mendapatkan surga. Yang akan
kami jelaskan lebih jeluk pada jawaban detil.
Bukti-bukti sejarah menyokong bahkan menegaskan bahwa Kaisar Roma tidak hanya sebagai non-Muslim ia juga disebutkan sebagai bukan seorang yang saleh.
1. Di antara peperangan yang terjadi pada masa Rasulullah Saw adalah perang Mu’tah yang dikomandoi oleh Ja’far Thayyar yang kemudian gugur sebagai syahid pada perang tersebut (dan perang ini adalah perang melawan Roma).
2. Apa
yang menyebabkan sehingga Rasulullah Saw pada akhir usianya
memerintahkan supaya pasukan Usamah dikirim untuk berperang melawan
Roma?Bukti-bukti sejarah menyokong bahkan menegaskan bahwa Kaisar Roma tidak hanya sebagai non-Muslim ia juga disebutkan sebagai bukan seorang yang saleh.
1. Di antara peperangan yang terjadi pada masa Rasulullah Saw adalah perang Mu’tah yang dikomandoi oleh Ja’far Thayyar yang kemudian gugur sebagai syahid pada perang tersebut (dan perang ini adalah perang melawan Roma).
Kesemua ini menunjukkan bahwa Kaisar Roma belum memeluk Islam pada masa Rasulullah Saw. Demikian juga pasca Rasulullah Saw pada masa para khalifah (khulafah) meletus perang Dzat al-Shawari pada tahun 31 atau 34 Hijriah.
Pada masa Bani Umayah, Amr bin Ash mengusulkan perdamaian dengan orang-orang Roma kepada Muawiyah sehingga dalam perang melawan kaum Muslimin pada perang Shiffin mereka merasa tenang dari ancaman pasukan Roma. Di samping itu, sesuai dengan nukilan sejarah, Muawiyah untuk menetapkan kelayakan putranya di hadapan kaum Muslimin, mengutus putranya untuk berperang melawan pasukan Roma namun menderita kekalahan pada perang tersebut.
Benar. Di sini terdapat sebuah riwayat yang dinukil para penulis sejarah dan di antaranya Ibnu Khaldun dalam kitab sejarahnya mengutip bahwa Kaisar Roma yaitu Heraklius meminta Abu Sofyan dan bertanya kepadanya tentang Rasulullah Saw dan sebagai hasilnya ia beriman kepada Rasulullah Saw hanya saja tidak dapat berbuat apa-apa namun di hadapan para pengikutnya dan para abdi istana. Ibnu Khaldun sendiri menukil bahwa Heraklius berperang melawan kaum Muslimin hingga wafatnya pada tahun 21 H.
Karena itu, kita sangsi terhadap dua persoalan. Apakah kita menerima riwayat ini (dan berkata bahwa Heraklius beriman kepada Rasulullah Saw) atau menerima perilakunya dan kelanjutan sikapnya (yang memusuhi kaum Muslimin). Dengan asumsi kita menerima bahwa ia beriman kepada Rasulullah Saw lantas apa nilainya iman seperti ini karena ia berperang melawan kaum Muslimin.
Jawaban Detil:
Sejatinya pertanyaan-pertanyaan Anda dapat dibagi menjadi dua bagian:
Adapun dalil bahwa kaum Muslimin merasa lebih baik dalam hubungannya dengan orang-orang Roma dan condong pada kemenangan mereka, adalah lantaran mereka adalah orang-orang Kristen dan memiliki banyak kesamaan dengan kaum Muslimin. Merupakan suatu hal yang wajar bahwa di antara dua kelompok ini yang berhadapan dengan kita, kecendrungan hati kita pada kemenangan orang-orang yang pada tingkatan tertentu lebih dekat dengan kita, meski mereka tidak seagama dengan kita dan memeluk agama dan keyakinan lain.
Dalam menyokong hal ini, kita dapat bersandar pada sebuah ayat al-Qur’an yang menjelaskan bahwa, “Dan sesungguhnya kamu dapati yang paling dekat persabahatannya dengan orang-orang yang beriman ialah orang-orang yang berkata, “Sesungguhnya kami ini orang Nasrani.” Yang demikian itu disebabkan karena di antara mereka (orang-orang Nasrani) itu terdapat pendeta-pendeta (yang alim) dan rahib-rahib (yang zuhud terhadap dunia), dan (juga) karena sesungguhnya mereka tidak menyombongkan diri (terhadap kebenaran).” (Qs. Al-Maidah [5]:82).
Dengan mencermati kandungan ayat ini, kita jumpai bahwa al-Qur’an, meski tidak menerima agama Kristen pasca kemunculan Islam, namun di antara non-Muslim, perbedaan juga tetap mendapat perhatian, dengan demikian, orang-orang Musyrik dan Yahudi, di samping mereka tidak menerima Islam, mereka juga memusuhi dan memiliki kebencian tertentu terhadap Islam. Namun orang-orang Kristen, meski mereka adalah orang-orang non Muslim, namun lantaran adanya sifat-sifat mulia di antara mereka, maka hubungan mereka lebih baik dengan kaum Muslimin.
Namun terkait dengan kegembiraan kaum Muslimin, al-Qur’an menyatakan, “Di negeri yang terdekat dan mereka sesudah dikalahkan itu akan menang dalam beberapa tahun (lagi). Bagi Allah-lah urusan sebelum dan sesudah (mereka kalah dan menang itu). Dan di hari itu orang-orang yang beriman bergembira (lantaran suatu kemenangan yang lain), karena pertolongan Allah. Dia menolong siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Dia-lah Yang Maha Perkasa lagi Maha Penyayang.” (Qs. Al-Rum [30]:3-4).
Adapun terkait dengan pertanyaan ihwal apa yang dimaksud dengan kegembiraan kaum Muslimin pada hari itu? Sekelompok orang berkata bahwa mereka bergembira atas kemenangan pasukan Roma meski mereka berada dalam pasukan orang-orang kafir, namun lantaran mereka memiliki kitab samawi, kemenangan mereka atas orang-orang Majusi yang musyrik merupakan satu tingkatan kemenangan “tauhid” atas “kesyirikan.”
Dan sebagian lainnya berkata, “Orang-orang beriman bergembira atas peristiwa ini dan memandangnya pertanda kebaikan sebagai dalil atas kemenangan mereka atas kaum Musyrikin.” Atau kegembiraan mereka disebabkan oleh kegaungan al-Qur’an dan kebenaran prediksi pastinya terkait dengan kemenangan penting bagi kaum Muslimin yang nampak pada hari itu.
Kemungkinan ini juga tidak mustahil karena kemenangan pasukan Roma bersamaan dengan salah satu kemenangan kaum Muslimin atas kaum Musyrikin khususnya pada sebagian ucapan para penafsir disebutkan bahwa kemenangan ini hampir bersamaan dengan kemenangan “perang Badar” atau bersamaan dengan “Perjanjian Hudaibiyyah” yang termasuk sebagai kemenangan besar bagi kaum Muslimin. Khususnya ungkapan “dengan pertolongan Allah” juga sesuai dengan makna ini.[2]
Kesimpulannya yang dapat dipetik dari beberapa kemungkinan ini adalah bahwa kegembiraan kaum Muslimin atas kemenangan pasukan Roma tidak dapat menjadi dalil bahwa karena mereka disertai oleh Kaisar Roma yang telah memeluk Islam dan terbunuhnya mereka juga dapat dihukumi gugur sebagai syahid. Dalil atas kegembiraan kaum Muslimin, boleh jadi karena adanya kesamaan yang lebih banyak dengan mereka, yang akan memetik kemenangan atas musuh bebuyutan mereka. Dan mungkin saja terdapat dalil-dalil lainnya seperti yang telah dijelaskan.
Adapun terkait dengan bagian kedua pertanyaan dan bahwa terlepas dari ayat-ayat pada surah al-Rum, bagaimana penilaian kita terhadap pasukan Roma, harus kita katakan bahwa dalam pandangan al-Qur’an, kriteria utama kebahagiaan manusia adalah rangkapan iman dan amal kebaikan. Dan kedua hal ini, telah dijelaskan secara bersamaan pada puluhan ayat al-Qur’an.[3]
Karena itu, sebagaimana iman tanpa mengerjakan amal kebaikan tidak mengandung nilai, mengerjakan amal kebaikan tanpa iman juga tidak menyisakan pengaruh pada pelakunya dan tidak akan menyebabkan kebahagiaan dan kejayaan bagi manusia. Dan hal ini tidak hanya tidak mencakup non-Muslim saja bahkan apabila seseorang yang secara lahir menampakkan dirinya sebagai Muslim mengerjakan kebaikan seperti jihad, namun amal kebaikan tersebut tidak memberikan manfaat bagi pelakunya tanpa adanya iman yang mengakar dalam dirinya.
Dengan menjelaskan salah satu contoh atas apa yang terjadi pada masa Rasulullah Saw maka peran iman sejati dalam menerima amal kebaikan akan menjadi terang:
Para sahabat Rasulullah Saw memuji salah seorang bernama Qazman di hadapan beliau terkait dengan betapa ia membantu sahabat-sahabatnya dalam perang dan sangat berpengaruh dalam memanaskan bara api perang. Rasulullah Saw dalam mengomentari pujian tersebut bersabda, “Ia termasuk penghuni neraka! Setelah beberapa lama kemudian, diberitakan kepada Rasulullah Saw bahwa Qazman telah syahid! Beliau bersabda, “Allah Swt Mahakuasa untuk melakukan segala sesuatu! Tidak lama berselang bahwa ia tidak syahid melainkan bunuh diri! Rasulullah Saw bersabda: Sekarang berikanlah kesaksian bahwa Aku ini adalah utusan Allah! Masalah Qazman yang telah berperang sengit dengan musuh dan berhasil membunuh enam atau tujuh orang musuh dan ia sendiri menderita luka parah. Ia dibawa ke tempat Bani Zhafar Madinah untuk diobati. Kaum Muslimin dengan melihatnya, berkata kepadanya, “Bergemberilah dengan surga yang engkau akan dapatkan! Engkau berperang dengan baik hari ini!
Ia menjawab: Berita gembira apa yang kalian berikan kepadaku. Demi Allah! Saya berperang untuk kemuliaan kaum dan sukuku. Kalau bukan masalah ini saya tidak akan melibatkan diriku dalam peperangan! (artinya saya tidak memiliki motivasi agama). Ia terluka parah dan sedemikian ia tidak tahan merasakan sakit yang sedang dideritanya sehingga ia mempercepat kematiannya sendiri. Qazman ketika itu meletakkan hulu pedangnya sendiri diatas tanah dan ujung pedang itu dilekatkan di dadanya kemudian ia menekankan dirinya diatas ujung pedangnya itu sehingga cepat menemui kematiannya. Qazman membunuh dirinya sendiri.[4]
Coba Anda perhatikan orang ini; meski ia berada dalam lasykar Islam dan berperang demi Islam dan berhasil membunuh beberapa orang musuh; namun karena tidak memiliki iman sejati yang mengakar dalam dirinya maka ia tidak layak mendapatkan surga.
Berdasarkan hal ini, kita tidak dapat berpandangan bahwa Kaisar Roma, lantaran mengalahkan musuh-musuh Islam, maka ia layak mendapatkan surga. Namun poin lainnya dalam al-Qur’an, terdapat dua kelompok ayat yang menjelaskan bahwa:
Pertama: Orang-orang ahli kitab (seperti kaum Masehi, Yahudi dan Shabi'in) yang beriman kepada Tuhan dan hari kiamat serta melakukan amal saleh, akan diberikan ganjaran yang sesuai oleh Tuhan.[5]
Kedua: Apabila ada sebagian orang yang hak dan balasan mereka belum dijelaskan dalam Al-Qur'an, sementara mereka bukan termasuk orang-orang yang membangkang, maka mereka –kelak di akhirat- menunggu keputusan Tuhan. Kaum mustadh'afin (orang-orang lemah dan dilemahkan) dan Ashhabu al-A'raf adalah orang-orang yang termasuk dalam kategori ini.[6]
Dari sekumpulan ayat-ayat ini dapat ditarik kesimpulan bahwa apabila terdapat beberapa orang yang belum menerima Islam namun ia juga tidak memiliki permusuhan dengan Islam serta berupaya untuk sampai kepada kebenaran, dan di samping itu juga tidak lalai mengerjakan kebaikan, maka kita dapat berharap bahwa orang ini akan terlingkupi rahmat luas Ilahi.
Orang-orang Roma dan kaisarnya juga apabila benar-benar melangkah di jalan ini maka mereka tidak terkecualikan dalam hal ini dan Allah Swt yang akan memutuskan ganjaran ukhrawi bagi mereka.
Bukti-bukti sejarah menyokong bahkan menegaskan bahwa Kaisar Roma tidak hanya bukan Muslim ia juga bukan merupakan orang saleh.
1. Di antara peperangan yang terjadi pada masa Rasulullah Saw adalah perang Mu’tah yang dikomandoi oleh Ja’far Thayyar yang kemudian gugur sebagai syahid pada perang tersebut (dan perang ini adalah perang melawan Roma).[7]
2. Apa
yang menyebabkan sehingga Rasulullah Saw pada akhir usianya
memerintahkan supaya pasukan Usamah dikirim untuk berperang melawan
Roma?- Apakah ayat-ayat yang Anda jelaskan pada surah al-Rum (30) adalah dalil atas kebenaran pasukan Roma dalam pelbagai peperangan mereka dan dengan dalil ini orang-orang yang terbunuh dari kalangan mereka adalah syahid dan Kaisar Roma juga bergerak pada jalan yang benar?
- Terlepas dari ayat-ayat ini, dengan memperhatikan prinsip-prinsip Islam lainnya, kedudukan apa yang diperoleh pasukan-pasukan Roma akibat dari peperangan itu, di akhirat kelak?
Adapun dalil bahwa kaum Muslimin merasa lebih baik dalam hubungannya dengan orang-orang Roma dan condong pada kemenangan mereka, adalah lantaran mereka adalah orang-orang Kristen dan memiliki banyak kesamaan dengan kaum Muslimin. Merupakan suatu hal yang wajar bahwa di antara dua kelompok ini yang berhadapan dengan kita, kecendrungan hati kita pada kemenangan orang-orang yang pada tingkatan tertentu lebih dekat dengan kita, meski mereka tidak seagama dengan kita dan memeluk agama dan keyakinan lain.
Dalam menyokong hal ini, kita dapat bersandar pada sebuah ayat al-Qur’an yang menjelaskan bahwa, “Dan sesungguhnya kamu dapati yang paling dekat persabahatannya dengan orang-orang yang beriman ialah orang-orang yang berkata, “Sesungguhnya kami ini orang Nasrani.” Yang demikian itu disebabkan karena di antara mereka (orang-orang Nasrani) itu terdapat pendeta-pendeta (yang alim) dan rahib-rahib (yang zuhud terhadap dunia), dan (juga) karena sesungguhnya mereka tidak menyombongkan diri (terhadap kebenaran).” (Qs. Al-Maidah [5]:82).
Dengan mencermati kandungan ayat ini, kita jumpai bahwa al-Qur’an, meski tidak menerima agama Kristen pasca kemunculan Islam, namun di antara non-Muslim, perbedaan juga tetap mendapat perhatian, dengan demikian, orang-orang Musyrik dan Yahudi, di samping mereka tidak menerima Islam, mereka juga memusuhi dan memiliki kebencian tertentu terhadap Islam. Namun orang-orang Kristen, meski mereka adalah orang-orang non Muslim, namun lantaran adanya sifat-sifat mulia di antara mereka, maka hubungan mereka lebih baik dengan kaum Muslimin.
Namun terkait dengan kegembiraan kaum Muslimin, al-Qur’an menyatakan, “Di negeri yang terdekat dan mereka sesudah dikalahkan itu akan menang dalam beberapa tahun (lagi). Bagi Allah-lah urusan sebelum dan sesudah (mereka kalah dan menang itu). Dan di hari itu orang-orang yang beriman bergembira (lantaran suatu kemenangan yang lain), karena pertolongan Allah. Dia menolong siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Dia-lah Yang Maha Perkasa lagi Maha Penyayang.” (Qs. Al-Rum [30]:3-4).
Adapun terkait dengan pertanyaan ihwal apa yang dimaksud dengan kegembiraan kaum Muslimin pada hari itu? Sekelompok orang berkata bahwa mereka bergembira atas kemenangan pasukan Roma meski mereka berada dalam pasukan orang-orang kafir, namun lantaran mereka memiliki kitab samawi, kemenangan mereka atas orang-orang Majusi yang musyrik merupakan satu tingkatan kemenangan “tauhid” atas “kesyirikan.”
Dan sebagian lainnya berkata, “Orang-orang beriman bergembira atas peristiwa ini dan memandangnya pertanda kebaikan sebagai dalil atas kemenangan mereka atas kaum Musyrikin.” Atau kegembiraan mereka disebabkan oleh kegaungan al-Qur’an dan kebenaran prediksi pastinya terkait dengan kemenangan penting bagi kaum Muslimin yang nampak pada hari itu.
Kemungkinan ini juga tidak mustahil karena kemenangan pasukan Roma bersamaan dengan salah satu kemenangan kaum Muslimin atas kaum Musyrikin khususnya pada sebagian ucapan para penafsir disebutkan bahwa kemenangan ini hampir bersamaan dengan kemenangan “perang Badar” atau bersamaan dengan “Perjanjian Hudaibiyyah” yang termasuk sebagai kemenangan besar bagi kaum Muslimin. Khususnya ungkapan “dengan pertolongan Allah” juga sesuai dengan makna ini.[2]
Kesimpulannya yang dapat dipetik dari beberapa kemungkinan ini adalah bahwa kegembiraan kaum Muslimin atas kemenangan pasukan Roma tidak dapat menjadi dalil bahwa karena mereka disertai oleh Kaisar Roma yang telah memeluk Islam dan terbunuhnya mereka juga dapat dihukumi gugur sebagai syahid. Dalil atas kegembiraan kaum Muslimin, boleh jadi karena adanya kesamaan yang lebih banyak dengan mereka, yang akan memetik kemenangan atas musuh bebuyutan mereka. Dan mungkin saja terdapat dalil-dalil lainnya seperti yang telah dijelaskan.
Adapun terkait dengan bagian kedua pertanyaan dan bahwa terlepas dari ayat-ayat pada surah al-Rum, bagaimana penilaian kita terhadap pasukan Roma, harus kita katakan bahwa dalam pandangan al-Qur’an, kriteria utama kebahagiaan manusia adalah rangkapan iman dan amal kebaikan. Dan kedua hal ini, telah dijelaskan secara bersamaan pada puluhan ayat al-Qur’an.[3]
Karena itu, sebagaimana iman tanpa mengerjakan amal kebaikan tidak mengandung nilai, mengerjakan amal kebaikan tanpa iman juga tidak menyisakan pengaruh pada pelakunya dan tidak akan menyebabkan kebahagiaan dan kejayaan bagi manusia. Dan hal ini tidak hanya tidak mencakup non-Muslim saja bahkan apabila seseorang yang secara lahir menampakkan dirinya sebagai Muslim mengerjakan kebaikan seperti jihad, namun amal kebaikan tersebut tidak memberikan manfaat bagi pelakunya tanpa adanya iman yang mengakar dalam dirinya.
Dengan menjelaskan salah satu contoh atas apa yang terjadi pada masa Rasulullah Saw maka peran iman sejati dalam menerima amal kebaikan akan menjadi terang:
Para sahabat Rasulullah Saw memuji salah seorang bernama Qazman di hadapan beliau terkait dengan betapa ia membantu sahabat-sahabatnya dalam perang dan sangat berpengaruh dalam memanaskan bara api perang. Rasulullah Saw dalam mengomentari pujian tersebut bersabda, “Ia termasuk penghuni neraka! Setelah beberapa lama kemudian, diberitakan kepada Rasulullah Saw bahwa Qazman telah syahid! Beliau bersabda, “Allah Swt Mahakuasa untuk melakukan segala sesuatu! Tidak lama berselang bahwa ia tidak syahid melainkan bunuh diri! Rasulullah Saw bersabda: Sekarang berikanlah kesaksian bahwa Aku ini adalah utusan Allah! Masalah Qazman yang telah berperang sengit dengan musuh dan berhasil membunuh enam atau tujuh orang musuh dan ia sendiri menderita luka parah. Ia dibawa ke tempat Bani Zhafar Madinah untuk diobati. Kaum Muslimin dengan melihatnya, berkata kepadanya, “Bergemberilah dengan surga yang engkau akan dapatkan! Engkau berperang dengan baik hari ini!
Ia menjawab: Berita gembira apa yang kalian berikan kepadaku. Demi Allah! Saya berperang untuk kemuliaan kaum dan sukuku. Kalau bukan masalah ini saya tidak akan melibatkan diriku dalam peperangan! (artinya saya tidak memiliki motivasi agama). Ia terluka parah dan sedemikian ia tidak tahan merasakan sakit yang sedang dideritanya sehingga ia mempercepat kematiannya sendiri. Qazman ketika itu meletakkan hulu pedangnya sendiri diatas tanah dan ujung pedang itu dilekatkan di dadanya kemudian ia menekankan dirinya diatas ujung pedangnya itu sehingga cepat menemui kematiannya. Qazman membunuh dirinya sendiri.[4]
Coba Anda perhatikan orang ini; meski ia berada dalam lasykar Islam dan berperang demi Islam dan berhasil membunuh beberapa orang musuh; namun karena tidak memiliki iman sejati yang mengakar dalam dirinya maka ia tidak layak mendapatkan surga.
Berdasarkan hal ini, kita tidak dapat berpandangan bahwa Kaisar Roma, lantaran mengalahkan musuh-musuh Islam, maka ia layak mendapatkan surga. Namun poin lainnya dalam al-Qur’an, terdapat dua kelompok ayat yang menjelaskan bahwa:
Pertama: Orang-orang ahli kitab (seperti kaum Masehi, Yahudi dan Shabi'in) yang beriman kepada Tuhan dan hari kiamat serta melakukan amal saleh, akan diberikan ganjaran yang sesuai oleh Tuhan.[5]
Kedua: Apabila ada sebagian orang yang hak dan balasan mereka belum dijelaskan dalam Al-Qur'an, sementara mereka bukan termasuk orang-orang yang membangkang, maka mereka –kelak di akhirat- menunggu keputusan Tuhan. Kaum mustadh'afin (orang-orang lemah dan dilemahkan) dan Ashhabu al-A'raf adalah orang-orang yang termasuk dalam kategori ini.[6]
Dari sekumpulan ayat-ayat ini dapat ditarik kesimpulan bahwa apabila terdapat beberapa orang yang belum menerima Islam namun ia juga tidak memiliki permusuhan dengan Islam serta berupaya untuk sampai kepada kebenaran, dan di samping itu juga tidak lalai mengerjakan kebaikan, maka kita dapat berharap bahwa orang ini akan terlingkupi rahmat luas Ilahi.
Orang-orang Roma dan kaisarnya juga apabila benar-benar melangkah di jalan ini maka mereka tidak terkecualikan dalam hal ini dan Allah Swt yang akan memutuskan ganjaran ukhrawi bagi mereka.
Bukti-bukti sejarah menyokong bahkan menegaskan bahwa Kaisar Roma tidak hanya bukan Muslim ia juga bukan merupakan orang saleh.
1. Di antara peperangan yang terjadi pada masa Rasulullah Saw adalah perang Mu’tah yang dikomandoi oleh Ja’far Thayyar yang kemudian gugur sebagai syahid pada perang tersebut (dan perang ini adalah perang melawan Roma).[7]
Pada masa Bani Umayah, Amr bin Ash mengusulkan perdamaian dengan orang-orang Roma kepada Muawiyah sehingga dalam perang melawan kaum Muslimin pada perang Shiffin mereka merasa tenang dari ancaman pasukan Roma. Di samping itu, sesuai dengan nukilan sejarah, Muawiyah untuk menetapkan kelayakan putranya di hadapan kaum Muslimin, mengutus putranya untuk berperang melawan pasukan Roma namun menderita kekalahan pada perang tersebut.[8]
Benar. Di sini terdapat sebuah riwayat yang dinukil para penulis sejarah dan di antaranya Ibnu Khaldun dalam kitab sejarahnya mengutip bahwa Kaisar Roma yaitu Heraklius meminta Abu Sofyan dan bertanya kepadanya tentang Rasulullah Saw yang sebagai hasilnya ia beriman kepada Rasulullah Saw hanya saja ia tidak dapat berbuat apa-apa di hadapan para pengikutnya dan para abdi istana. Dan Ibnu Khaldun sendiri menukil bahwa Heraklius berperang melawan kaum Muslimin hingga wafatnya pada tahun 21 H. [9]
Karena itu, kita sangsi terhadap dua persoalan. Apakah kita menerima riwayat ini (dan berkata bahwa Heraklius beriman kepada Rasulullah Saw) atau menerima perilakunya dan kelanjutan sikapnya (yang memusuhi kaum Muslimin). Dengan anggapan bahwa kita menerima ia beriman kepada Rasulullah Saw lantas apa nilainya iman seperti ini yang memerangi kaum Muslimin.
Referensi:
[1]. Muhammad Ya’qub Kulaini, al-Kâfi, jil. 8, hal. 269.
[2]. Makarim Syirazi, Tafsir Nemune, jil. 16, hal. 363.
[3]. “Dan sampaikanlah berita gembira kepada orang-orang yang beriman dan berbuat baik bahwa bagi mereka disediakan surga-surga yang sungai-sungai mengalir di bawahnya. Setiap kali mereka diberi rezeki buah-buahan dalam surga-surga itu, mereka berkata, “Inilah yang pernah diberikan kepada kami dahulu.” Mereka diberi buah-buahan yang serupa dan di dalam surga-surga itu mereka memiliki istri-istri yang suci, serta mereka kekal di dalamnya. Dan orang-orang yang beriman serta beramal saleh, mereka itulah penghuni surga; mereka kekal di dalamnya. Sesungguhnya orang-orang yang beriman, mengerjakan amal saleh, mendirikan salat, dan menunaikan zakat, mereka mendapat pahala di sisi Tuhan-nya. Tiada kekhawatiran bagi mereka, dan tidak (juga) mereka bersedih hati.” (Qs. Al-Baqarah [2]:25, 82, 277) dan banyak ayat-ayat lainnya dalam al-Quran.
[4]. Muhammad Baqir Majlisi, Bihâr al-Anwâr, jil. 20, hal. 98.
[5]. “Sesungguhnya orang-orang mukmin, para pemeluk (agama) Yahudi, para pemeluk (agama) Nasrani dan orang-orang Shabi`in (para pengikut Nabi Yahya as), jika mereka benar-benar beriman kepada Allah, hari kemudian, dan beramal saleh, maka mereka akan mendapatkan pahala di sisi Tuhan mereka; tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” (Qs. Al-Baqarah [2]: 62); “Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, Shabi’in, dan orang-orang Nasrani, siapa saja (di antara mereka) yang benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian, serta beramal saleh, maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” (Al-Maidah [5]: 69); dan “Kemudian Kami utus rasul-rasul Kami setelah mereka dan Kami utus (pula) Isa putra Maryam. Kami berikan kepadanya Injil dan Kami jadikan dalam hati orang-orang yang mengikutinya rasa santun dan kasih sayang. Tapi Kami tidak pernah menetapkan rahbâniyyah yang mereka ada-adakan itu kepada mereka, meskipun (dengan mengada-adakannya itu) mereka ingin mencari keridaan Allah. Tetapi mereka tidak memeliharanya dengan pemeliharaan yang semestinya. Kami berikan pahala kepada orang-orang yang beriman di antara mereka, dan banyak di antara mereka orang-orang fasik.” (Qs. Al-Hadid [57]: 27).
[6]. “Dan di antara kedua golongan itu (penghuni surga dan neraka) terdapat tirai penghalang; dan di atas al-A‘râf itu ada orang-orang yang mengenal masing-masing dari dua golongan itu dengan tanda-tanda mereka. Dan mereka menyeru penduduk surga, “Salam kesejahteraan atasmu.” Mereka tidak memasuki surga, sedang mereka menginginkan(nya).” (Qs. Al-A'raf [7]: 46); “Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan malaikat dalam keadaan menganiaya diri sendiri, (kepada mereka) malaikat bertanya, “Dalam keadaan bagaimana kamu ini?” Mereka menjawab, “Kami adalah orang-orang yang tertindas di negeri (Mekah).” Para malaikat berkata, “Bukankah bumi Allah itu luas sehingga kamu dapat berhijrah di bumi itu?” Tempat orang-orang itu adalah neraka Jahanam, dan Jahanam itu seburuk-buruk tempat kembali, kecuali mereka yang tertindas, baik laki-laki atau wanita maupun anak-anak yang tidak mampu berdaya upaya dan tidak mengetahui jalan (untuk hijrah).” (Qs. Al-Nisa' [4]: 97 & 98). Sehubungan dengan ini terdapat juga riwayat dalam kitab Al-Kâfi jil. 2, hal. 382 – 383.
[7]. Al-Kâmil, jil. 2, hal. 334.
[8]. Ansâb al-Asyrâf, jil. 5, hal. 289.
[9]. Târikh Ibnu Khaldun, jil. 2, hal. 267 – 272.
[1]. Muhammad Ya’qub Kulaini, al-Kâfi, jil. 8, hal. 269.
[2]. Makarim Syirazi, Tafsir Nemune, jil. 16, hal. 363.
[3]. “Dan sampaikanlah berita gembira kepada orang-orang yang beriman dan berbuat baik bahwa bagi mereka disediakan surga-surga yang sungai-sungai mengalir di bawahnya. Setiap kali mereka diberi rezeki buah-buahan dalam surga-surga itu, mereka berkata, “Inilah yang pernah diberikan kepada kami dahulu.” Mereka diberi buah-buahan yang serupa dan di dalam surga-surga itu mereka memiliki istri-istri yang suci, serta mereka kekal di dalamnya. Dan orang-orang yang beriman serta beramal saleh, mereka itulah penghuni surga; mereka kekal di dalamnya. Sesungguhnya orang-orang yang beriman, mengerjakan amal saleh, mendirikan salat, dan menunaikan zakat, mereka mendapat pahala di sisi Tuhan-nya. Tiada kekhawatiran bagi mereka, dan tidak (juga) mereka bersedih hati.” (Qs. Al-Baqarah [2]:25, 82, 277) dan banyak ayat-ayat lainnya dalam al-Quran.
[4]. Muhammad Baqir Majlisi, Bihâr al-Anwâr, jil. 20, hal. 98.
[5]. “Sesungguhnya orang-orang mukmin, para pemeluk (agama) Yahudi, para pemeluk (agama) Nasrani dan orang-orang Shabi`in (para pengikut Nabi Yahya as), jika mereka benar-benar beriman kepada Allah, hari kemudian, dan beramal saleh, maka mereka akan mendapatkan pahala di sisi Tuhan mereka; tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” (Qs. Al-Baqarah [2]: 62); “Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, Shabi’in, dan orang-orang Nasrani, siapa saja (di antara mereka) yang benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian, serta beramal saleh, maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” (Al-Maidah [5]: 69); dan “Kemudian Kami utus rasul-rasul Kami setelah mereka dan Kami utus (pula) Isa putra Maryam. Kami berikan kepadanya Injil dan Kami jadikan dalam hati orang-orang yang mengikutinya rasa santun dan kasih sayang. Tapi Kami tidak pernah menetapkan rahbâniyyah yang mereka ada-adakan itu kepada mereka, meskipun (dengan mengada-adakannya itu) mereka ingin mencari keridaan Allah. Tetapi mereka tidak memeliharanya dengan pemeliharaan yang semestinya. Kami berikan pahala kepada orang-orang yang beriman di antara mereka, dan banyak di antara mereka orang-orang fasik.” (Qs. Al-Hadid [57]: 27).
[6]. “Dan di antara kedua golongan itu (penghuni surga dan neraka) terdapat tirai penghalang; dan di atas al-A‘râf itu ada orang-orang yang mengenal masing-masing dari dua golongan itu dengan tanda-tanda mereka. Dan mereka menyeru penduduk surga, “Salam kesejahteraan atasmu.” Mereka tidak memasuki surga, sedang mereka menginginkan(nya).” (Qs. Al-A'raf [7]: 46); “Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan malaikat dalam keadaan menganiaya diri sendiri, (kepada mereka) malaikat bertanya, “Dalam keadaan bagaimana kamu ini?” Mereka menjawab, “Kami adalah orang-orang yang tertindas di negeri (Mekah).” Para malaikat berkata, “Bukankah bumi Allah itu luas sehingga kamu dapat berhijrah di bumi itu?” Tempat orang-orang itu adalah neraka Jahanam, dan Jahanam itu seburuk-buruk tempat kembali, kecuali mereka yang tertindas, baik laki-laki atau wanita maupun anak-anak yang tidak mampu berdaya upaya dan tidak mengetahui jalan (untuk hijrah).” (Qs. Al-Nisa' [4]: 97 & 98). Sehubungan dengan ini terdapat juga riwayat dalam kitab Al-Kâfi jil. 2, hal. 382 – 383.
[7]. Al-Kâmil, jil. 2, hal. 334.
[8]. Ansâb al-Asyrâf, jil. 5, hal. 289.
[9]. Târikh Ibnu Khaldun, jil. 2, hal. 267 – 272.
Lihat Kisah sebenarnya Dibawah ini:
Perang Mu’tah
Nabi saw berkeinginan untuk meciptakan keamanan di utara Jazirah Arab dan mengajak penduduknya kepada Islam dan melakukan ekspansi ke Syam. Oleh karena itu, beliau mengirim Harits bin Umair Azdi kepada Harits bin Abi Syimir Ghassani, namun Syurahbil dan Ghassani
menentangnya dan bahkan membunuhnya.
Pada
masa ini juga, Rasulullah saw mengirim sekelompok kaum Muslim untuk
berdakwah di jalan Islam. Namun, mereka diserang oleh penduduk Syam yang
berada di kawasan „Dzatul-Athlah dan mereka dibunuh di sana. Kabar kesyahidan mereka sampai kepada Nabi saw. Beliau sangat terpukul dengan kejadian tersebut.
Kemudian
Rasulullah saw mendorong kaum Muslim untuk pergi. Beliau menyiapkan
pasukan yang terdiri dari tiga ribu pejuang yang dipimpin oleh Zaid bin
Haritsah, lalu Ja’far bin Abi Thalib, kemudian Abdullah bin Rawahah.
Nabi saw berpidato di tengah mereka dan berkata,„ Berperanglah kalian
dengan nama Allah. Ajaklah mereka masuk Islam. Bila mereka menerima maka
sambutlah mereka dan lindungilah mereka. Kalau tidak, perangilah musuh Allah dan musuh kalian di Syam.
Kalian akan mendapati orang-orang lelaki yang melakukan uzlah (mengasingkan diri dari manusia)
di tempat-tempat peribadatan. Maka janganlah kalian mengganggu mereka. Dan kalian pun akan menemukan orang-orang lain yang di atas kepala mereka terdapat sarang setan maka cabutlah itu dengan pedang kalian. Janganlah kalian membunuh wanita, anak kecil yang masih menyusui, orang tua renta, dan jangan pula kalian menghancurkan pohon kurma dan memotong pohon serta menghancurkan rumah.
Dan Rasulullah saw mengantarkan mereka sampai di Tsaniyatal Wada dan mengucapkan salam perpisahan pada mereka. Ketika pasukan kaum Muslim sampai di kawasan Masyariq, mereka dikagetkan dengan jumlah besar pasukan Romawi yang berkisar tiga ratus ribu pejuang.
Lalu kaum Muslim menuju Mu’tah dan mereka tetap bertekad untuk memerangi musuh. Dan karena banyak sebab, pasukan kaum Muslim menelan kekalahan. Bahkan ketiga komandan pasukan pun terbunuh semua.
Di antara faktor kekalahan mereka adalah bahwa mereka berperang di kawasan yang asing bagi mereka dan jauh dari pusat bantuan sebagaimana mereka memerangi para penyerang dan pasukan Romawi yang berjumlah besar; di mana mereka menggunakan sistem bertahan dalam peperangan yang tak seimbang ini.
Di samping itu, terdapat perbedaan besar dalam pengalaman perang. Pasukan Romawi merupakan kekuatan yang terorganisir dan telah mengenyam banyak peperangan yang berat, sedangkan pasukan kaum Muslim di samping jumlah mereka sedikit dan tak berpengalaman, pembentukannya pun masih baru.
Rasulullah saw sangat sedih atas kesyahidan Ja’far bin Abi Thalib. Beliau menangis dengan keras. Nabi saw pergi ke rumah Ja’far untuk menyampaikan belasungkawa terhadap keluarganya dan menghiburnya. Sebagaimana beliau juga sangat sedih atas kesyahidan Zaid bin Haritsah.
Penaklukan Mekkah
Pasca perang Mu’tah, terdapat pelbagai reaksi yang ditunjukan oleh kekuatan-kekuatan di kawasan. Kaum Romawi, misalnya, bergembira atas penarikan mundur kaum Muslim dan ketidakmampuan mereka memasuki Syam. Sedangkan kaum Quraisy pun besorak-sorai sehingga menampakkan keberanian terhadap kaum Muslim.
Bahkan mereka mulai berusaha untuk melanggar perjanjian damai Hudaibiyah dengan cara menciptakan ketidakamanan; memprovokasi kabilah Bani Bakar untuk menindas Bani Khaza’ah (pasca Hudaibiyah, Bani Bakar masuk dalam kolisi Quraisy dan Bani Khaza’ah masuk dalam koalisi Nabi saw). Kaum Quraisy menyuplai persenjatan kepada Bani Bakar untuk menyerang Bani Khaza’ah. Akhirnya, Bani Bakar menyerang dan membunuh beberapa orang dari Bani Khaza’ah, padahal mereka saat itu merasa aman berada di rumah mereka, bahkan sebagian mereka sedang
melaksanakan ibadah.
Kemudian Bani Khaza’ah datang kepada Rasulullah saw untuk meminta pertolongan. Lalu Amr bin Salim berdiri di depan Rasulullah saw saat itu beliau duduk di mesjid·sembari melantunkan baitbait syair yang menjelaskan pelanggaran perjanjian. Dan, Rasulullah saw pun tergugah dan berkata, „Engkau akan ditolong (dimenangkan) wahai Amr bin Salim.
Adapun kaum Quraisy telah menyadari kesalahan fatalnya dan mereka dicekam oleh rasa takut terhadap kaum Muslim. Lalu mereka bersepakat untuk mengutus Abu Sufyan ke Madinah dalam rangka memperbaharui perdamaian dan meminta perpanjangan waktu kepada Nabi saw. Namun Nabi saw tidak mengabulkan permohonan Abu Sufyan. Beliau justru bertanya kepadanya sambil berkata, „Apakah telah terjadi sesuatu?Abu Sufyan berkata, Aku berlindung kepada Allah. Nabi saw menjawab, Kami berpegang teguh dengan masa yang kami sepakati dan perjanjian kami. Tetapi Abu Sufyan tidak tenang dan tidak puas. Bahkan ia hendak memastikan perjanjian dan jaminan keamanan
dari Rasulullah saw di mana ia hendak menjadikan orang yang berpengaruh atas Nabi saw untuk menjadi mediator.
Namun semua menolak dan tidak memperhatikannya. Kini, Abu Sufyan tidak punya jalan lain kecuali kembali ke Mekkah dengan membawa kekecewaan. Dan kekuatan-kekuatan syirik mulai tampak resah di mana keadaan telah berbalik.
Di satu sisi, Nabi saw ingin menaklukkan Mekkah dengan jumlah pasukan yang terus bertambah dan ditunjang oleh keimanan yang mengakar, sedangkan di sisi lain kaum Quraisy mengharapkan keamanan atas darah dan harta mereka, dan telah datang kesampatan untuk membatalkan perjanjian. Dan Mekkah merupakan langkah terakhir yang belum dikuasai oleh Islam, sedangkan semua jazirah Arab telah dikuasainya.
Nabi saw membunyikan tanda bahaya secara umum. Ribuan kaum Muslim pun menyemut di sekitar Nabi saw dan memenuhi panggilannya. Lalu beliau menyiapkan pasukan yang jumlahnya mendekati sepuluh ribu orang. Nabi saw berusaha untuk menyembunyikan tujuannya kecuali kepada orang-orang khusus. Beliau berdoa kepada Allah dan berkata, Ya Allah, kuasailah mata dan tahanlah
berita agar jangan sampai ke telinga kaum Quraisy sehingga mereka terkejut di negeri mereka.
Tampaknya Nabi saw ingin mewujudkan kemenangan yang gemilang secara cepat tanpa harus menumpahkan setetes darah pun. Hal ini ditempuh dengan menggunakan metode kejutan. Namun berita ini bocor ke seorang lelaki yang lemah emosinya. Ia menulis surat kepada kaum Quraisy untuk memberitahukan hal itu dengan menyuruh seorang wanita untuk mengantarkan surat tersebut. Lalu turunlah wahyu untuk memberitahukan Nabi saw tentang hal tersebut.
Kemudian beliau memerintahkan Ali dan Zubair untuk menyusul wanita tersebut dan menarik kembali surat itu. Dengan kekuatan imannya pada Rasulullah saw, Ali berhasil merampas surat itu dari tangan wanita tersebut. Ketika Rasulullah saw menerima surat tersebut, beliau mengumpulkan kaum Muslim di mesjid untuk membangkitkan semangat mereka dan mengingatkan
masalah pengkhianatan dan pentingnya menahan emosi demi mendapatkan rida Allah. Dan kaum Muslim bangkit untuk menangkap Hatib bin Abi Balta’ah, penulis surat yang ia bersumpah bahwa ia tidak bermaksud berkhianat. Namun Umar sangat terbakar emosinya dan ia memohon kepada Nabi saw untuk mengizinkannya membunuh Hatib. Tapi Nabi saw menjawab, „Bukankah engkau mengetahui wahai Umar bahwa Allah memberitahukan kepada ahli Badar (para pejuang Perang Badar) dan berkata kepada mereka, kerjakan apa yang kalian sukai karena aku telah mengampuni kalian.
Bersambung....
0 komentar:
Posting Komentar